Senin, 07 September 2009

Pohon


tulisan kawan Ichwan kalimasada - 5 September 2009 di kompasiana...
di copy paste tanpa sempat minta ijin dr beliau...
---------

Para pecinta keheningan akan bersua dengan titimangsa terbaik dalam hidup mereka. Ya, tak ada waktu yang lebih baik untuk menghelat iktikaf yang sunyi selain pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Setiap agama, bukan hanya Islam, sebenarnya punya ingatan yang khusyuk tentang momen-momen kudus yang tergelar dalam sunyi yang paripurna: Musa menyaksikan tanda-tanda maujud Tuhan dalam takjub yang tak terpermanai di puncak Sinai, Yesus gemetar dalam takut yang manusiawi di Taman Getsemani yang sepi, Muhammad menerima wahyu pertama dalam tafakkur yang sempurna di Gua Hira, Sidharta menerima pencerahan dalam semedi di bawah pohon bodhi saat terang purnama.

Setiap agama tentu juga menganjurkan “kesalehan sosial”. Tapi, kesalahen individual dan kekhusyukan personal punya tempatnya yang kuat dalam jantung setiap agama. Jangan heran jika di setiap agama selalu ada para paderi yang mengajarkan betapa Tuhan bisa dihayati dalam bentuknya yang intim bagi siapa saja yang mau menggapainya dengan kegigihan yang keras kepala.

Merekalah para mistikus – tradisi Islam menyebutnya “sufi”. Tapi bukan hanya Islam yang punya pribadi macam Rumi atau al-Hallaj. Saudara tua Islam, Yahudi dan Kristen, juga punya pribadi-pribadi macam itu. Rabi Akiva, Rabi Yohannan atau Rabi Yehezkiel masyhur dalam Yahudi, sementara Paus Gregory atau Uskup Diodichus bisa diajukan sebagai wakil dari Kristen.

Berbeda dengan para teolog yang mencoba “menjelaskan” Tuhan melalui dalil-dalil yang cenderung prosais, para mistikus tak pernah ingin “menjelaskan” Tuhan tapi justru mencoba mendekati-Nya dengan laku yang cenderung puitis. Biasanya, laku yang mereka gelar nyaris selalu mengandaikan penghayatan personal yang sungguh khusyuk, dihelat dalam kesendirian yang begitu masyuk, demi mencapai –dalam kata Yakub Charqi—“samudera kesatuan” (bahr-i jami).

Merekalah mata air dari keyakinan betapa Tuhan bisa dihayati dan ditemukan lewat cara-cara tertentu yang membutuhkan latihan terus-menerus yang tanpa putus, bukan melalui logika dan rasio. “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah,” kata sebuah ayat yang begitu metaforis dan sering dikutip para mistikus sebagai pemacu semangat.

Ada kalimat dalam buku “The Eternal Now” karya teolog Paul Tillich yang mungkin bisa menggambarkan kenapa selalu dan akan selalu lahir para mistikus. Tillich menuliskannya dalam kalimat terakhir dari bab berjudul “Lonelines and Solitude”, bab yang selalu menyentuh tiap kali saya membacanya kembali. “Let us dare to have solitude,” kata Tillich, “To face the eternal, …to see ourselves.”

Tillich coba menarik semedi para mistikus yang sepenuhnya sakral ke area yang lebih profan dan manusiawi: untuk menemukan dan melihat diri sendiri (to see ourselves).

Tapi tak banyak yang tahan untuk sendiri dalam kesunyian, kendati ia diimingi “hadiah” bakal bisa melihat dirinya secara utuh sekali pun, apalagi dalam momen-momen yang rawan. Dalam tindihan kegagalan atau penyesalan yang menekan, misalnya, sendirian bisa menjadi pengalaman mengge(n)tarkan. Seringkali pada saat itu kita tak menemukan apapun saat menatap cermin, kecuali paras yang terlihat letih, tampak pucat, dan menggigil. Jauh lebih (ny)aman jika dalam situasi demikian kita mendaku sebanyak mungkin bahu yang bisa dijadikan tempat di mana kepala kita bisa dipaku.

Mungkin ini bisa menjelaskan kenapa para pecinta kesunyian selalu lebih sedikit daripada penghayat keramaian dan kenapa lebih banyak yang sukarela bergabung dalam paguyuban.

Tapi, saya percaya, selalu ada –niscaya akan selalu ada– kebutuhan dan dorongan untuk sekali waktu mambangun jarak dari keramaian, menyusun spasi dari kerumunan, menyiapkan jeda dari keseharian, untuk kembali ke guanya masing-masing, lalu menengok pedalaman dirinya sendiri-sendiri. Setiap orang, pada akhirnya, butuh momen di mana dirinya bisa menikmati waktu dengan intimitas yang tak terganggu, sejenak apa pun itu.

Sebab sunyi memang tak terpisahkan dari kemanusiaan. Kesunyian adalah karib yang tak pernah berkhianat. Bukankah malaikat Rakib dan Atid tak akan menanyai arwah secara berjamaah ?

Hidup Bukan Pasar Malam, begitu Pram menjuduli karyanya yang paling mencekam, yang ia akhiri dengan sebuah pasase yang meneror: “Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana….”

Ya, sendiri itu fitrah. Sorangan itu asali. Dhewekan itu hakiki. Man is alone because he is a man, tegas Paul Tillich lagi.

Saya percaya bahwa kebahagiaan yang sebenarnya — atau apa pun Anda menyebutnya– tak bisa diharapkan bakal datang dari orang lain, muncul karena kehadiran orang lain, hadir karena dibawakan orang lain. Orang lain, barangkali, memang bisa mendatangkan kebahagiaan. Tapi, pada saat yang sama, orang lain juga berpeluang mendatangkan sebaliknya. Kebahagiaan dan ketidakbahagiaan sama-sama dimungkinkan datang lewat orang lain. Maaf, saya tidak percaya pada kebahagiaan berjenis kelamin demikian. Kebahagiaan tak mungkin dalam dirinya sendiri membawa bibit ketidakbahagiaan.

Ini bukan anjuran hidup a-sosial, bukan pula propaganda tentang eksistensialisme yang telah usang. Ini tentang penemuan kebahagiaan dengan sepenuhnya mengandalkan inisiatif pribadi, bukan berharap dibawakan oleh orang lain. Pada mereka, orang lain itu, kita hanya bisa membaginya, ya… untuk menikmatinya bersama. Bukankah memberi lebih baik ketimbang menerima ?

Biarlah kita menggapai kebahagiaan dengan tangan dan kaki sendiri, termasuk dengan menggelar permenungan dalam sunyi yang menyendiri. Tapi, pastilah jauh lebih baik jika semua yang digapai sendirian itu kita bagi pada orang lain.

Itulah sebabnya, setelah menghelat iktikaf yang sunyi dan hening sepanjang sepuluh malam terakhir Ramadhan, Islam mewajibkan umatnya untuk berzakat di pengujung Ramadhan. Itulah saatnya pergi keluar, menjalani kehidupan sosial, menghayati peran masing-masing dalam kerumunan manusia-manusia yang lain, dan terutama menebarkan semua pencapaian pribadi kepada orang lain, entah itu pencapaian material maupun spiritual.

Ada fase indah yang ditulis Susana Tamaro di novel “Pergilah Ke Mana Hati Membawamu” yang bisa menggambarkan pokok soal ini. Katanya, “Hidup memang mirip dengan menanam pohon. Kendati yang ditanam hanya pohon bunga, akan selalu ada tumbuhan lain yang ikut tumbuh. Sebagian berupa ilalang, sebagian lagi berupa rumput liar.

Seperti itulah segala sesuatu berlangsung.”wallahualam.

salam dialog

Tidak ada komentar:

Posting Komentar