Jumat, 26 Juni 2009

Rumi di khitan...

Rumi di khitan tanggal 20 Juni 2009 kemaren....

Setelah perjalanan darat [Lorena yg minim AC nya] selama hampir 23 jam... Akhirnya jam 11 siang Rumi, Ayah dan Ibu sampai di rumah Uti...

Jam 16.30 Rumi di khitan di Bina Sehat...
Krn dokter Ervan dulu adalah bekas murid Akung di masjid Al-Fur'qon, maka Rumi di bonusin bius umum untuk khitannya ini....

Ternyata Rumi harus masuk sendiri ke ruang tindakannya. Tanpa ada yang boleh nungguin.... Sempat terdengar ribut2 sebentar, lalu kemudian sunyi senyap....

Tidak lebih dari setengah jam, tiba2.... BRAAKKK....!! ruang tindakan terbuka, dan seorang mas2 perawat, termehek-mehek menggotong Rumi yang masih setengah sadar, untuk ditaruh di ruang recovery.... Lucu... karena Rumi masih setengah sadar, maka ngomongnya juga masih nglantur ngalor-ngidul...

Tak lama kemudian, saat Rumi udah OK, dan tidak merasa pusing dan mual, dokter Ervan memperbolehkan pulang.... pulang kerumah Uti, yang sedang sibuk mempersiapkan syukuran untuk di khitannya Rumi...

Selamat ya Rumi.. Selamat di khitan, selamat menjadi dewasa, semoga bahagia dan selalu mencari kebenaran....

Terima kasih ya Uti, terima kasih Akung.... Atas segala ribet2 nya, atas segala ikhlas nya, mengkhitan kan Rumi...

Kamis, 11 Juni 2009

Cara berhubungan dengan Tuhan...




Tulisan dari Amang Mula.. (dengan seijin beliau)

Buset! Ini mah namanya orang kurang kerjaan, Mama…

June 6, 2009
Oleh: Mula Harahap

Ketika kedua anak saya masih duduk di bangku sekolah dasar, maka perselisihan yang paling sering saya alami dengan isteri saya ialah dalam soal membaca Alkitab. Isteri saya ingin sekali agar di rumah kami terbangun kebiasaan membaca Alkitab secara bersama-sama.
Isteri saya tumbuh dalam rumah yang memiliki tradisi seperti itu. Oleh karenanya wajar saja kalau dia juga ingin tradisi yang sama terbangun di rumahnya. Tapi cilakanya saya tumbuh dalam rumah dengan tradisi yang berbeda. Jangankan membaca Akitab, berdoa bersama saja, kecuali berdoa makan atau berdoa pada malam tutup tahun, pun kami tak pernah.
Saya bukan hendak mengatakan bahwa ayah saya seorang yang tidak percaya akan Tuhan. Saya rasa dia percaya sekali akan Tuhan. Setiap pagi, sebelum berangkat ke kantor, kami anak-anak selalu melihatnya berdoa.
Tapi dia selalu berdoa sendiri, beberapa saat, sambil berdiri di balik pintu kamar. Acapkali dia harus kena bantingan pintu, yang dibuka secara serampangan oleh anak-anaknya, yang sedang tergopoh-gopoh hendak berangkat ke sekolah itu. Saya selalu membayangkan ayah saya seperti pemungut cukai yang berdoa di pojok Bait Allah dalam cerita Alkitab itu.
“Kau adalah imam di rumah ini,” begitulah selalu kata isteri saya. “Kau harus memulai dan memimpin kebiasaan yang baik itu.”
“Tapi kalau seorang imam harus memimpin sebuah kebiasaan yang tak terlalu diimaninya, itu repot,” begitulah juga selalu jawab saya kepadanya.
Kadang-kadang terbersit juga di pikiran saya untuk membeberkan saja kepadanya “contoh soal” dari beberapa keluarga yang selalu memiliki tradisi membaca Alkitab bersama di rumah, tapi yang dalam kehidupan di luaran tokh sama saja brengseknya. Tapi saya sadar bahwa itu adalah cara mengelak yang kekanak-kanakan. Itu bukanlah cara yang bijaksana.
Begitulah, isteri saya selalu saja memakai setiap kesempatan yang ada–misalnya sehabis mendengarkan kesaksian sebuah keluarga dalam kebaktian lingkungan–untuk menekan saya agar mulai membangun kebiasaan membaca Alkitab bersama keluarga di rumah. Dan saya selalu saja mengelak dengan halus.
Tapi suatu kali, gereja dimana saya terdaftar sebagai anggota, menyelenggarakan Pekan Keluarga. Berbagai acara digelar dalam kegiatan tersebut. Salah satunya adalah meminta setiap keluarga jemaat agar selama sepekan, setiap pagi, mengadakan kebaktian dan pembacaan Alkitab bersama. Gereja bahkan sudah menyiapkan dan membagikan liturgi kebaktian selama seminggu kepada kami. Tentu saja saya tidak bisa menolak hal seperti itu.
Pada pagi hari pertama Pekan Keluarga itu isteri saya bangun dengan wajah berseri-seri. Ia menyiapkan dua Alkitab dan empat kertas liturgi di meja makan dan mulai membangunkan anak-anak. Kebetulan hari itu juga adalah hari pertama libur sekolah anak-anak. Tentu saja mereka bangun dengan sedikit bersungut-sungut. Tapi anak perempuan saya, yang sedikit-banyak memiliki karakter mirip dengan saya, orang Batak-Angkola ini–selalu ingin menjaga harmoni dan meghindari konflik–segera mengerti apa yang terjadi dan duduk dengan patuhnya di sebelah saya.
Sebaliknya anak lelaki saya, yang sedikit-banyak memiliki karakter ibunya, orang Ambon itu–selalu bicara apa adanya–terus saja merepet-repet. Dan dia baru mau duduk dengan tenang setelah saya memberinya isyarat dengan kedipan mata.
Begitulah, kami anak-beranak menjalani kebaktian pertama Pekan Keluarga itu dengan bernyanyi, berdoa, membaca litani, bernyanyi dan berdoa lagi. Lalu tibalah saatnya untuk membaca Alkitab. Isteri saya membagi mana ayat yang harus saya baca, mana yang harus dibacanya, dan mana yang harus dibaca oleh kedua anak kami.
Sementara kami hendak bersiap-siap melakukan pembacaan, anak lelaki saya itu kembali gelisah. Rupanya–karena hari itu adalah permulaan libur sekolah–beberapa temannya sudah mundar-mandir di jalanan di depan rumah hendak mengajaknya bermain.
Mula-mula yang melakukan pembacaan Alkitab adalah saya. Kemudian isteri saya. Seharusnya giliran yang berikut adalah anak lelaki saya. Tapi karena ia masih gelisah, saya berkata kepada anak perempuan saya, “Kau sajalah dulu….” Lalu anak perempuan saya itu pun membaca bagiannya dengan tenang dan baik.
Tapi cilakanya sementara kami sedang membaca Alkitab itu, anak-anak lelaki di luar sana sudah melongok-longok dari balik pagar hendak mencari tahu kenapa anak lelaki saya tidak kunjung keluar. Dan hal tersebut membuat anak lelaki saya itu semakin gelisah, kesal dan kehilangan konsentrasi.
“Bacalah, Bang,” kata isteri saya dengan sabarnya seraya menyorongkan Alkitab ke depannya.
“Yang mana yang gue baca?” tanya anak lelaki saya setelah terdiam agak lama.
“Kan tadi sudah dibilang? Ayat 27 sampai 42,” kata saya.
Anak lelaki saya kembali terdiam beberapa saat seraya memandang Alkitabnya. Kami pun semua terdiam. Sementara itu suara anak-anak yang sedang bermain di luar sana semakin gaduh saja.
“Buset,” kata anak lelaki saya tiba-tiba. “Sebegini banyak? Ini mah namanya orang kurang kerjaan, Mama….”
Mendengar kata-kata itu saya langsung menundukkan kepala. Tapi dengan sudut mata, saya masih terus mencoba melihat reaksi isteri saya. Selesai acara kebaktian ini pastilah saya yang akan diadili.
“Bacalah, Amang,” kata saya dengan tenang dan mencoba menyelamatkan situasi.
Anak saya pun membaca ayat=ayat yang menjadi bagiannya. Walau pun dengan tersendat-sendat tapi akhirnya bacaan itu selesai juga dilakukannya.
Begitulah, setelah mendengarkan sedikit renungan–yang dibawakan oleh isteri saya–bernyanyi, dan berdoa, maka kebaktian kami anak-beranak itu pun berakhirlah.
Mengenai apa yang dikatakan isteri saya kepada saya setelah kebaktian selesai, saya rasa tak usahlah saya ceritakan di sini. Malu saya. Tapi ijinkanlah saya menceritakan sebuah peristiwa yang terjadi dua atau tiga bulan setelah kebaktian itu:
Suatu pagi ketika saya dan anak-anak sedang bersiap-siap hendak berangkat ke kantor dan sekolah, tiba-tiba isteri saya memanggil saya dengan berbisik. Kemudian dia memberi aba–aba agar saya melongok ke kamar anak lelaki saya.
Anak lelaki yang sudah siap dengan seragam putih-merah itu sedang berlutut di sisi tempat tidurnya. Tangannya terkatup rapat dan terjulur jauh-jauh di atas kasur. Ia sedang berdoa dengan khusuknya.
“Kawan ini pasti sedang menghadapi sebuah persoalan pelik yang tak bisa ditanggulanginya sendiri dan karenanya terpaksa harus diadukan kepada Tuhan,” kata saya dalam hati sambil tersenyum-senyum. “Ini bisa persoalan PR yang belum selesai, persoalan anakperempuan sekelas yang menampik cintanya, atau persoalan anak-anak tanggung yang suka memalaknya di sekitar Jalan Gunung Sahari…..”
Tiba-tiba perbuatan anak lelaki saya itu mengingatkan saya akan Ayah, yang untuk mana, sesuai dengan tradisi Batak, nama anak lelaki saya itu menjadi gelar panggilannya.
Saya keluar dari kamar dengan perasaan sedikit “menang”. Kepada isteri saya, saya berkata, “Kan, berapa kali sudah saya katakan kepadamu? Masing-masing orang punya caranya sendiri untuk berhubungan dengan tuhannya. Tak usahlah heboh-heboh amat…..” [.]

Rumi mengibaratkan



Rumi mengibaratkan cinta Tuhan adalah samudra tak bertepi (ocean without shores), ketika kemudian manusia mulai membatasi dengan alam pikirannya yang terbatas.
Manusia mulai "memanusiakan" Tuhan, dan memberinya sifat2 yang masuk akal manusia.
Analoginya, ketika Tuhan adalah lautan luas tak terbatas, manusia kemudian menyendoknya dan menaruhnya kedalam wadah. Ketika manusia satu menaruhnya ke dalam gelas, maka dia beranggapan bahwa Tuhan berbentuk gelas, sementara manusia lain yang menaruhnya dalam wadah mangkok, akan mendapati bentuk Tuhan seperti mangkok saja.

Keterbatasan akal pikirannyalah yang membuat manusia menyempitkan makna Tuhan, sesuai dengan keterbatasannya tadi, ada yang menyerupai gelas, mangkok, dan segala wadah2 lain bentukan manusia, segala batasan2 lain bentukan manusia.