Rabu, 14 April 2010

Poligami dlm perspektif Alquran

Published by Suara Merdeka, 28 August 2003
Oleh: Abdullah Faqih

SALAH satu isu yang paling menjadi sorotan tajam oleh aktivis perempuan, termasuk para feminis Islam dewasa ini adalah poligami. Pasalnya, poligami dinilai sangat bertentangan dengan platform gerakan pembebasan perempuan yang selama ini dikumandangkan oleh para pegiat hak-hak kaum hawa, seperti Fatima Mernissi, Aminah Wadud, Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, dan lain-lain.

Pijakan dasar mereka jelas, yaitu hendak membebaskan perempuan dari segala bentuk eksploitasi dan dominasi kaum laki-laki, termasuk dalam pernikahan. Karena itu, munculnya Poligamy Award belum lama ini (25/7/2003) di Hotel Aryaduta Jakarta tidak saja kontradiktif dengan visi-misi yang diusung oleh kelompok reformis perempuan itu, tetapi juga semakin mengundang pro dan kontra seputar poligami.

Satu-satunya justifikasi teologis yang sering digunakan sebagai "referensi wajib" oleh pihak pro poligami adalah ayat poligami dalam QS An Nisa: 3. Mereka berkeyakinan, ayat ini merupakan sebuah lisensi yang diberikan oleh Allah kepada hambanya untuk berpoligami.

Di lain pihak, kalangan yang kontra terhadap poligami berpendapat bahwa secara etika-moral qurani, tidak ada alasan yang memadai untuk menghalalkan poligami. Bahkan, lebih keras lagi, Gus Dur menuduh pihak-pihak yang membolehkan poligami berarti tidak paham Alquran. Dari sini, bagaimana sebenarnya konsep Alquran tentang poligami?

Berbicara tentang konsep Alquran berarti kita sedang berbicara tentang teks. Nashr Hamid Abu Zayd mengemukakan, Alquran sebagai sebuah teks agama ditempatkan dalam bingkai proses komunikasi antara pihak yang memberi peran komunikasi (Allah) dengan pihak yang menerima pesan komunikasi (Muhammad). Ada banyak faktor yang terlibat dalam formatisasi teks tersebut, seperti kondisi penerima pertama (Muhammad) dan sasaran pembicaraan (bangsa Arab kala itu) dengan segala setting sosial budaya saat itu.

Dengan kata lain, Alquran merupakan dialektika wahyu (Allah) dengan realitas.

Perlu diketahui, sejarah perempuan pada era pra Islam (jahiliah) merupakan sejarah hitam kemanusiaan. Boleh dikata saat itu sedang terjadi titik kulminasi praktik dehumanisasi. Pada saat itu perempuan tidak punya bargaining position sama sekali. Perempuan tidak ubahnya seperti komoditas yang dapat diperlakukan semau gue.

Akibatnya, tradisi perseliran di antara masyarakat Arab yang boleh menikahi wanita lebih dari sepuluh orang merupakan fenomena sangat lumrah. Tradisi pemakaman bayi perempuan hidup-hidup (wa'ad al-banat) pun menjadi sesuatu yang dianggap legal. Singkatnya, sungguh hina menjadi seorang perempuan pada era jahiliah.

Dari sini kita dapat memahami bahwa tradisi poligami sebenarnya ada jauh sebelum Islam datang. Bahkan, hal itu merupakan gejala lumrah dan menjadi tren di dunia Arab kala itu. Perempuan harus mau diperlakukan apa saja, termasuk dimadu oleh suaminya. Inilah gambaran umum situasi Arab sebelum Islam.

Di tengah penurunan kualitas kemanusiaan (dehumansasi) bangsa Arab saat itu, diturunkanlah sebuah risalah kepada seorang bangsa Arab (melalui Muhammad) untuk mereformasi tatanan dunia. Artinya, risalah itu didesain untuk melakukan proyek humanisasi bangsa Arab khususnya dan masyarakat dunia pada umumnya (wama arsalnaka illa rahmatan lil 'alamin). Hal ini terlihat jelas pada salah satu hadis: "Sesungguhnya kami diutus ke dunia ini untuk menyempurnakan akhlak".

Dalam kaitan ini, Islam juga datang untuk mengangkat martabat kaum perempuan yang telah diperlakukan sewenang-wenang oleh "sejarah". Dus, sejak kedatangan Islam, kedudukan perempuan menjadi lebih baik bahkan setara dengan laki-laki. Inilah seharusnya yang menjadi titik tolak untuk membahas tentang poligami.

Sudah jelas bahwa ayat Alquran yang diduga kuat sebagai ajaran poligami ada dalam Surat An Nisa ayat 3. Ayat inilah yang oleh sebagain pihak dijadikan landasan yuridis-teologis untuk menghalalkan poligami. Namun, Shinta Nuriyah Abdurrahman Wahid mengatakan, pembolehan poligami atas nama Alquran merupakan sesuatu yang tidak berdasar. Bahkan, lebih keras dia menyuruh pihak-pihak yang membolehkan poligami atas nama Alquran mengkaji Alquran lebih dalam, lebih seksama, dan lebih teliti lagi.

Nashr Hamid Abu Zayd dalam bukunya Mafhum al Nash Dirasah fi Ulum al Qur'an menyebutkan, pemahaman isi Alquran memerlukan dua cara. Pertama, melalui analisis struktur bahasanya. Kedua, dengan kembali ke konteks yang memproduksinya. Dengan kata lain, analisis harus meliputi analisis tekstual dan kontekstual.

Lebih lanjut, Abu Zayd menegaskan, penafsiran secara tekstual an sich (parsial) hanya akan berimplikasi pada hilangnya pesan suatu ayat.

Secara tekstual, ayat poligami memang berbunyi fankihu ma thaba lakum min al-nisa' matsna wa tsulatsa wa ruba' ... (nikahilah dua atau tiga atau empat perempuan yang baik menurutmu). Kalau kita membaca ayat ini berhenti sampai di sini (sepotong-potong), wajar jika opini yang tersohor di tengah masyarakat adalah kehalalan poligami.

Namun, bila kita membaca kelanjutan ayat di atas yang berbunyi: "Fain khiftum alla ta'dilu fawahidah" (sekiranya kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawini satu perempuan saja) maka pemahaman kita tentu akan lain.

Ironisnya, ayat ini sering tidak dibaca-kalau tidak malah sengaja dilupakan. Dari ayat ini saja, ternyata persyaratan poligami yang ditentukan oleh Alquran ternyata sedemikian ketat. Yaitu, poligamos dituntut bisa berbuat adil.

Persoalannya, keadilan yang bagaimanakah yang dikehendaki oleh Alquran? Keadilan dalam perspektif siapa untuk siapa?

Ada dua kosa kata dalam Alquran yang merujuk konsep keadilan. Pertama, qashata dan 'adala. Istilah pertama (qashata) lebih menunjuk keadilan yang bersifat formal-material, sedangkan istilah kedua ('adala) lebih merujuk keadilan maknawi (psikologis) yang menyangkut kualitas perasaan cinta, kasih sayang, perhatian, dan lain-lain.

Karena Alquran dalam pembahasan tentang keadilan poligami dalam Surat An Nisa: 129 lebih memilih kosa kata 'adala (walan tasthathi'u an ta'dilu...) daripada qashata, kita dapat berasumsi bahwa keadilan yang dikehendaki oleh Alquran adalah keadilan yang bersifat maknawi (immaterial).

Dengan demikian, menurut hemat saya, keadilan maknawi lebih merujuk pada perasaan welcome (legawa) dari pihak perempuan yang dimadu. Karena itu, keadilan di sini jelas menurut standar keperempuanan, bukan keadilan menurut parameter laki-laki. Hal ini sekaligus menepis anggapan para laki-laki bahwa keadilan yang dimaksud terbatas pada keadilan material, seperti harta, rumah, dan sebagainya.

Melihat persyaratan yang ekstraketat tersebut, mungkinkah poligami dapat dilakukan oleh-oleh laki-laki terhadap perempuan yang dimadu? Secara hipotetis, dengan nada yang tegas dan meyakinkan, Allah berfirman dalam kelanjutan dua ayat di atas (An Nisa: 129): "Falan tashtathi'u 'an ta'dilu baina al-nisa' walau haratstum (engkau tidak akan mampu berbuat adil atas perempuan meski engkau berusaha keras untuk itu).

Dus, keadilan maknawi dalam perspektif nalar Alquran tidak mungkin akan terwujud melalui praktik-praktik poligami. Perlu dicatat, hal ini baru merupakan hipotesis Alquran yang masih perlu dibuktikan secara ilmiah. Benarkah keadilan maknawi tidak pernah ada? Benarkah perempuan secara naluriah tidak rida dirinya dimadu?

Sekali lagi, ini masih perlu pembuktian empiris-ilmiah.

Dengan demikian, kata kuncinya adalah keadilan hakiki. Logikanya, jika istri yang hendak dimadu benar-benar legawa atas poligami yang dilakukan oleh suami, insya Allah poligami bisa dibenarkan. Namun, jika istri yang dimadu tidak rela poligami dilaksanakan, sesuai dengan ajaran Alquran, kita dilarang untuk berpoligami (fain khuftum alla ta'dilu fawahidah).

Perlu diketahui pula, Alquran lebih cenderung pada asumsi bahwa suami akan menemukan kesulitan berbuat adil secara psikologis (QS An Nisa: 129). Begitu juga si istri sulit menerima kenyataan poligami. Kalau toh kemungkinan pertama tersebut terjadi, saya kira hal itu sesuatu yang kasuistis.

Secara umum, hipotesis Alquran di atas merupakan sesuatu yang common sense.

Kemudian, kalau kita tinjau secara kontekstual (asbab al nuzul) turunnya ayat poligami tersebut, kita akan membaca bahwa ayat ini turun dalam konteks perlindungan terhadap para janda dan anak yatim yang telantar akibat korban perang, bukan dalam konteks pemberian kesempatan kepada laki-laki untuk sekadar melampiaskan berahi.

Jika kita memakai logika pengandaian, seandainya tidak ada peperangan yang mengakibatkan para janda dan anak yatim telantar, mungkin ayat poligami ini tidak pernah turun. Atau, skenario kedua, ayat ini turun dengan kekuatan hukum temporer dengan alasan tadarruj al hukmi yang berusaha mengeliminasi praktik poligami yang sudah telanjur mengakar sejak pra-Islam agar tidak terjadi pada masa mendatang. Proses tadarruj ini juga bisa dilihat dalam proses pembebasan perbudakan yang eksistensinya secara gradual dapat dieliminasi.

Terlepas dari itu, Alquran tidak pernah memberikan lisensi poligami tanpa strict requirement. Sebaliknya, Alquran di satu sisi memperbolehkan poligami, tapi di sisi lain melarang karena kekhawatiran tidak diindahkannya nilai-nilai keadilan di muka bumi ini.

Kalau demikian, barangkali benar apa yang dikatakan Muhammad Abduh bahwa monogami tak syak lagi merupakan watak asli pernikahan Islam, bukan poligami.

Sebagai pamungkasing wacana, ada baiknya kita merujuk pada salah satu hadis Nabi tentang keinginan Ali bin Abi Thalib memadu Fatimah yang dilarang oleh Nabi, karena hal ini hanya akan membuat ketidakadilan dan self-depriation.(18e)



Abdullah Faqih, Mahasiswa Program S2 Interdisciplinary Islamic Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta