Senin, 07 September 2009

Pohon


tulisan kawan Ichwan kalimasada - 5 September 2009 di kompasiana...
di copy paste tanpa sempat minta ijin dr beliau...
---------

Para pecinta keheningan akan bersua dengan titimangsa terbaik dalam hidup mereka. Ya, tak ada waktu yang lebih baik untuk menghelat iktikaf yang sunyi selain pada 10 hari terakhir Ramadhan.

Setiap agama, bukan hanya Islam, sebenarnya punya ingatan yang khusyuk tentang momen-momen kudus yang tergelar dalam sunyi yang paripurna: Musa menyaksikan tanda-tanda maujud Tuhan dalam takjub yang tak terpermanai di puncak Sinai, Yesus gemetar dalam takut yang manusiawi di Taman Getsemani yang sepi, Muhammad menerima wahyu pertama dalam tafakkur yang sempurna di Gua Hira, Sidharta menerima pencerahan dalam semedi di bawah pohon bodhi saat terang purnama.

Setiap agama tentu juga menganjurkan “kesalehan sosial”. Tapi, kesalahen individual dan kekhusyukan personal punya tempatnya yang kuat dalam jantung setiap agama. Jangan heran jika di setiap agama selalu ada para paderi yang mengajarkan betapa Tuhan bisa dihayati dalam bentuknya yang intim bagi siapa saja yang mau menggapainya dengan kegigihan yang keras kepala.

Merekalah para mistikus – tradisi Islam menyebutnya “sufi”. Tapi bukan hanya Islam yang punya pribadi macam Rumi atau al-Hallaj. Saudara tua Islam, Yahudi dan Kristen, juga punya pribadi-pribadi macam itu. Rabi Akiva, Rabi Yohannan atau Rabi Yehezkiel masyhur dalam Yahudi, sementara Paus Gregory atau Uskup Diodichus bisa diajukan sebagai wakil dari Kristen.

Berbeda dengan para teolog yang mencoba “menjelaskan” Tuhan melalui dalil-dalil yang cenderung prosais, para mistikus tak pernah ingin “menjelaskan” Tuhan tapi justru mencoba mendekati-Nya dengan laku yang cenderung puitis. Biasanya, laku yang mereka gelar nyaris selalu mengandaikan penghayatan personal yang sungguh khusyuk, dihelat dalam kesendirian yang begitu masyuk, demi mencapai –dalam kata Yakub Charqi—“samudera kesatuan” (bahr-i jami).

Merekalah mata air dari keyakinan betapa Tuhan bisa dihayati dan ditemukan lewat cara-cara tertentu yang membutuhkan latihan terus-menerus yang tanpa putus, bukan melalui logika dan rasio. “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah,” kata sebuah ayat yang begitu metaforis dan sering dikutip para mistikus sebagai pemacu semangat.

Ada kalimat dalam buku “The Eternal Now” karya teolog Paul Tillich yang mungkin bisa menggambarkan kenapa selalu dan akan selalu lahir para mistikus. Tillich menuliskannya dalam kalimat terakhir dari bab berjudul “Lonelines and Solitude”, bab yang selalu menyentuh tiap kali saya membacanya kembali. “Let us dare to have solitude,” kata Tillich, “To face the eternal, …to see ourselves.”

Tillich coba menarik semedi para mistikus yang sepenuhnya sakral ke area yang lebih profan dan manusiawi: untuk menemukan dan melihat diri sendiri (to see ourselves).

Tapi tak banyak yang tahan untuk sendiri dalam kesunyian, kendati ia diimingi “hadiah” bakal bisa melihat dirinya secara utuh sekali pun, apalagi dalam momen-momen yang rawan. Dalam tindihan kegagalan atau penyesalan yang menekan, misalnya, sendirian bisa menjadi pengalaman mengge(n)tarkan. Seringkali pada saat itu kita tak menemukan apapun saat menatap cermin, kecuali paras yang terlihat letih, tampak pucat, dan menggigil. Jauh lebih (ny)aman jika dalam situasi demikian kita mendaku sebanyak mungkin bahu yang bisa dijadikan tempat di mana kepala kita bisa dipaku.

Mungkin ini bisa menjelaskan kenapa para pecinta kesunyian selalu lebih sedikit daripada penghayat keramaian dan kenapa lebih banyak yang sukarela bergabung dalam paguyuban.

Tapi, saya percaya, selalu ada –niscaya akan selalu ada– kebutuhan dan dorongan untuk sekali waktu mambangun jarak dari keramaian, menyusun spasi dari kerumunan, menyiapkan jeda dari keseharian, untuk kembali ke guanya masing-masing, lalu menengok pedalaman dirinya sendiri-sendiri. Setiap orang, pada akhirnya, butuh momen di mana dirinya bisa menikmati waktu dengan intimitas yang tak terganggu, sejenak apa pun itu.

Sebab sunyi memang tak terpisahkan dari kemanusiaan. Kesunyian adalah karib yang tak pernah berkhianat. Bukankah malaikat Rakib dan Atid tak akan menanyai arwah secara berjamaah ?

Hidup Bukan Pasar Malam, begitu Pram menjuduli karyanya yang paling mencekam, yang ia akhiri dengan sebuah pasase yang meneror: “Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi. Dan yang belum pergi dengan cemas-cemas menunggu saat nyawanya terbang entah ke mana….”

Ya, sendiri itu fitrah. Sorangan itu asali. Dhewekan itu hakiki. Man is alone because he is a man, tegas Paul Tillich lagi.

Saya percaya bahwa kebahagiaan yang sebenarnya — atau apa pun Anda menyebutnya– tak bisa diharapkan bakal datang dari orang lain, muncul karena kehadiran orang lain, hadir karena dibawakan orang lain. Orang lain, barangkali, memang bisa mendatangkan kebahagiaan. Tapi, pada saat yang sama, orang lain juga berpeluang mendatangkan sebaliknya. Kebahagiaan dan ketidakbahagiaan sama-sama dimungkinkan datang lewat orang lain. Maaf, saya tidak percaya pada kebahagiaan berjenis kelamin demikian. Kebahagiaan tak mungkin dalam dirinya sendiri membawa bibit ketidakbahagiaan.

Ini bukan anjuran hidup a-sosial, bukan pula propaganda tentang eksistensialisme yang telah usang. Ini tentang penemuan kebahagiaan dengan sepenuhnya mengandalkan inisiatif pribadi, bukan berharap dibawakan oleh orang lain. Pada mereka, orang lain itu, kita hanya bisa membaginya, ya… untuk menikmatinya bersama. Bukankah memberi lebih baik ketimbang menerima ?

Biarlah kita menggapai kebahagiaan dengan tangan dan kaki sendiri, termasuk dengan menggelar permenungan dalam sunyi yang menyendiri. Tapi, pastilah jauh lebih baik jika semua yang digapai sendirian itu kita bagi pada orang lain.

Itulah sebabnya, setelah menghelat iktikaf yang sunyi dan hening sepanjang sepuluh malam terakhir Ramadhan, Islam mewajibkan umatnya untuk berzakat di pengujung Ramadhan. Itulah saatnya pergi keluar, menjalani kehidupan sosial, menghayati peran masing-masing dalam kerumunan manusia-manusia yang lain, dan terutama menebarkan semua pencapaian pribadi kepada orang lain, entah itu pencapaian material maupun spiritual.

Ada fase indah yang ditulis Susana Tamaro di novel “Pergilah Ke Mana Hati Membawamu” yang bisa menggambarkan pokok soal ini. Katanya, “Hidup memang mirip dengan menanam pohon. Kendati yang ditanam hanya pohon bunga, akan selalu ada tumbuhan lain yang ikut tumbuh. Sebagian berupa ilalang, sebagian lagi berupa rumput liar.

Seperti itulah segala sesuatu berlangsung.”wallahualam.

salam dialog

Menemukan Ayat-ayat Allah


tulisan Kang Hasan [berbual.com] 4 September 2009,
di copy paste dengan seijin beliau...
------------

Seorang teman memajang foto-foto di Facebook. Ada foto aurora di kutub utara, awan entah di mana, sisik ikan di Afrika, dan banyak lagi. Semua foto itu bila dilihat dengan teliti, kata si pemajang, menampilkan nama Allah yang tertulis dalam huruf Arab. Itu semua, kata dia, adalah tanda-tanda kebesaran Allah.

Iseng, saya komentari begini: „People see what they want to see. Cuma lucu saja. Mungkin Allah lupa bahwa tidak semua hamba-Nya bisa membaca huruf Arab, sehingga di negara manapun dia menampilkan tanda kekuasaan-Nya dengan huruf Arab.“ Saya tentu tidak berniat melecehkan Tuhan dengan ungkapan itu. Itu adalah ekspresi kekecewaan saya pada cara teman saya tadi dalam melihat kebesaran Allah. Saya kecewa karena teman saya ini terpelajar, seharusnya dia bisa lebih dari itu.

Bagi saya, aurora, awan, atau apapun yang ada di sekitar kita adalah tanda-tanda kebesaran Allah. Tidak perlu menunggu sampai benda-benda itu menampilkan lafal nama Allah dalam huruf Arab. Benda dan fenomena alam, semua teratur dalam hukum-hukum yang mengagumkan. Hukum-hukum itulah tanda kebesaran Allah.

Begitulah yang saya pahami dari Quran. Karenanya banyak perintah Allah dalam Quran yang menyuruh kita untuk mengamati alam. Melihat bagaimana hujan diturunkan, bumi disuburkan, dan sebagainya. Agar kita memahami kebesarannya. Juga agar kita mengambil manfaat darinya.

Sesuatu berwujud tulisan berlafal nama Allah, atau sesuatu yang kita sangka begitu, boleh jadi akan membuat kita merasa lebih dekat pada Allah. Tapi hanya sampai di situ. Tak ada manfaat lebih jauh dari itu.

Marilah kita sadari bahwa benda-benda yang ada di sekitar kita sekarang ini adalah produk yang diperoleh dari pengamatan terhadap berbagai fenomena alam yang dilakukan selama ratusan tahun. Komputer yang saya pakai untuk menulis saat ini, AC yang mendinginkan ruangan, kendaraan yang saya naiki. Semua. Semua yang kita rasakan manfaatnya.

Saya kebetulan pernah menjadi peneliti tamu di beberapa universitas di Jepang. Sebelumnya saya kuliah di sana. Saya menjadi bagian dari usaha untuk membuka berbagai tabir misteri alam. Bagi saya pribadi, itu adalah kerja untuk menemukan ayat-ayat Allah. Bagi saya dan semua orang yang terlibat, itu adalah kerja untuk mencari manfaat dari berbagai fenomena alam.

Pengalaman saya menunjukkan bahwa mudah sekali rasanya untuk merasa tersentuh oleh kebesaran Allah. Untuk kagum pada ciptaanNya. Untuk itu kita cukup membaca temuan-temuan orang lain, lalu berteriak “Allahu akbar”. Yang sulit adalah menemukan sendiri. Dan yang paling sulit adalah menemukan ayat-ayat Allah yang kemudian temuan itu bisa dimanfaatkan bagi kepentingan umat manusia.

Saya ingat betul bagaimana saya bekerja sebagai seorang ilmuwan. Untuk mendapatkan data yang bisa dipakai untuk menguji hipotesa diperlukan eksperimen berbulan-bulan. Bahkan bisa bertahun-tahun. Barulah setelah itu kita merumuskan secuil ayat. Itupun tak menjamin bahwa yang kita temukan itu bisa bermanfaat. Banyak yang hanya menjadi sekumpulan informasi. Hanya sampai di situ.

Tapi setidaknya, menemukan sendiri ayat itu jauh lebih membahagiakan ketimbang hanya terkagum-kagum dengan ayat temuan orang lain. Dan tentu saja jauh lebih membahagiakan dibanding dengan menemukan tulisan nama Allah di sisik ikan.

Kita sudah sekian lama menjadi penganut Bucaillisme. Maurice Bucaille kita kenal sebagai penulis buku “Bibel, Quran, dan Sains modern”, yang menyimpulkan bahwa Quran cocok dengan temuan-temuan sains modern. Lalu setelah itu banyak orang yang mengikutinya. Yang mutakhir dari kelompok ini adalah Harun Yahya.

Bucaillisme tentu sedikit lebih baik dari kekaguman terhadap tulisan nama Allah yang muncul di sisik ikan. Tapi Bucaillisme tidak menghasilkan yang lebih dari sekedar decak kagum. Kita tidak menghasilkan sebuah produk riil dari decak kagum itu.

Lebih buruk dari itu, Bucaillisme sebenarnya penuh cacat. Banyak pengabaian serta inkonsistensi di situ. Pengabaian dan konsistensi itu dilakukan demi mencapai kesimpulan tadi; bahwa Quran cocok dengan sains modern.

Secara jujur saya, dengan segala keterbatasan saya, melihat banyak ayat tentang alam yang sebenarnya tidak cocok dengan sains modern. Misalnya tentang matahari yang berjalan dalam konteks kejadian siang dan malam. Karena kita tahu bahwa kejadian siang dan malam adalah akibat rotasi bumi, bukan karena matahari yang berjalan (beredar).

Tapi itu tak penting. Quran bukan buku sains. Ia tak harus memuat seluruh fakta-fakta sains, karena memang tak mungkin. Juga tak harus memuat semua informasi sains secara akurat.

Quran itu petunjuk. Atau bahkan bisa kita sebut penunjuk. Quran menyuruh kita mengamati alam, memberi sedikit bekal awal untuk memicu kita agar bergerak. Kalau bekal itu ternyata tak cocok benar di lapangan sana, tak masalah. Kita harus menemukannya sendiri. Penemuan itu bukan sekedar untuk kagum. Tapi, sekali lagi, untuk kita manfaatkan.

Itulah yang banyak kita lalaikan.

Masih dari Rendra...


Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya : mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,
lebih banyak popularitas, dan
kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua
“derita” adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh
dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja

Rendra..

Rabu, 02 September 2009

email teman saya semalem dan kewajiban saya hari ini



Teman saya ada yang mengirim email, panjang dan lebar semalem.
Outline nya ;"Beni, antum harus memilih... tidak ada pilihan in between disini.... Keraguan adalah hanya milik orang yang lemah iman dan terlalu meletakkan pikirannya yang lemah didepan keyakinan hati nuraninya yang suci. Sami'na wa Atho'na..... Ada hal2 yang memang sudah merupakan porsi otak, dan banyak juga diantaranya yang sudah ditakdirkan untuk menjadi porsi hati, porsi keimanan.
Syariah islam harus ditegakkan oleh pemerintahan yang haq. Tidak perlu cemas bagi pemeluk agama lain, sebagaimana dulu pemeluk agama yahudi dan nasrani diberlakukan dengan sangat mulia sewaktu Futhul Makkah...."

Lalu saya merentang-rentang pikiran.....,
Orang "islam" mengebom, meluluh lantak kan di Peshawar, di Jakarta, di Islmabad... untuk mengirimkan pesan yang kuat kepada musuhnya...
Orang "katolik" menembak musuh2nya secara licik dan pengecut dari jendela2 tinggi di jalanan Belfast...
Orang "Hindu" mengacung-acungkan parang dan menebas dengan gemas di pelataran kuil Ayodya...

Saya kemudian, menjadi semakin tidak mengerti.... tidak paham....
Saya hanya membayangkan paragraf diatas kemudian akan berlanjut dengan ;
Syariat Islam ditegakkan, jangan khawatir bagi pemeluk lain....
Peraturan Katolik dipakai sebagai dasar negara dan doa litani dipakai sebagai lagu kenegaraan , jangan khawatir bagi pemeluk lain...
Darma Budha dipakai sebagai peraturan resmi negara dan ukuran baik buruk benar salah di perundangan negara akan diukur dari padanya, jangan khawatir bagi pemeluk lain....

Kemudian (masih dalam banyangan saya) semua berfokus untuk mewujudkannya sesegera mungkin perintah suci dari langit tersebut......
kemudian kemungkinan besar ada friksi, timbul ekses..... (apalah yang bisa di jamin dari kerumunan massa? urusan sepak bola di tivi yang bahkan mereka tidak tahu ujung pangkalnya saja, sudah lebih dari cukup untuk alasan bentrok) yang mungkin tidak lagi kita inginkan... yang kemungkinan akan menjadi sangat merugikan....
Kekhawatiran pihak lain tersebut, justru begitu saja muncul, pas ketika kalimat "jangan khawatir bagi pemeluk lain" selesai diucapkan....

Bidadari, mati dengan paras rupawan, burung dari surga dan harum kesturi di janjikan bagi mereka yang berani mati, demi menegakkan hal yang benar dan harus ditegakkan...
Martir dan kehormatan yang paling mulia dari Imam tertinggi akan disematkan kepada yang paling patuh (walaupun itu berarti paling bengis dan mengerikan bagi pihak lain)..
Kemudian semua menjadi terkotak-kotak... tersekat-sekat... dalam golongan, dalam benar salah, dalam kami dan mereka, dalam selamat dan azab....
Kemudian tiba-tiba seorang, segolongan, punya hak dan pembenaran paling benar untuk merasa paling shahih dan karenanya golongan lainnya menjadi paling sesat...
Kemudian nyawa yang satu menjadi halal bagi yang lain.....

Dan saat itu mungkin dari Central Park, dari kubur John Lennon akan lamat2 terdengar lagi lantunan ;

INTRO: C Cmaj7 C F
(The Cmaj7 is a quick pull-off: C C C Cmaj7-C F F F F)

C Cmaj7 C F C Cmaj7 C F
Imagine there's no heaven, it's easy if you try
C Cmaj7 C F C Cmaj7 C F
No hell below us, above us on - ly sky
[F] C/E Dm7 F/C G C G7
Imagine all the people living for today...ahh

Imagine no more countries, it isn't hard to do
Nothing to kill or die for, and no religion too
Imagine all the people living life in peace...you-hoo...

F G C E7
CHORUS: You may say I'm a dreamer
F G C E7
But I'm not the only one
F G C E7
I hope someday you'll join us
F G C Cmaj7 C F...
And the world will be as one

Imagine no possessions, I wonder if you can
No need for greed or hunger, a brotherhood of man
Imagine all the people sharing all the world

CHORUS

OUTRO: Same as intro, end on C


Halah... saya kemudian tersadar... dan ingat bahwa saya harus kembali bekerja... kembali untuk memberanikan hidup dan menghidupi kehidupan saya.... mengurusi ban kanan belakang saya yang sudah gundul dan saya belum punya sisa uang untuk menggantinya, menanti dan berdo'a supaya koran sabtu dan minggu besok berisa pengharapan akan lowongan pekerjaan yang lebih baik, mengingat-ingat pesanan martabak manis anak saya yang harus saya beli nanti sore "Yah..., jangan yang kacang coklat, aku suka yang keju susu, atau keju coklat juga gak papa lah....",

Salam,
Beni SutRisno
"happiness is an option. you can live in it every day"

Sent not from my BlackBerry®
powered not by Sinyal Kuat INDOSAT

in memoriam WS Rendra



Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
Bekerja membalik tanah
Memasuki rahasia langit dan samodra
Serta menciptakan dan mengukir dunia

Kita menyandang tugas
kerna tugas adalah tugas
Bukannya demi sorga atau neraka
tetapi demi kehormatan seorang manusia

Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
Meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu
Kita adalah kepribadian dan harga kita adalah kehormatan kita

Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya..

WS Rendra
7/11/1935 - 6/8/2009
"selamat jalan Rendra.."

Tersambung lagi....



Kemarin komputer ku tersambung lagi dengan dunia...
Dengan dunia nyata... dunia yang aku suka.. dunia yang gegap gempita dan penuh warna..
bukan dunia yang berisi hanya order, claim, retur, dan prospek serta segala tetek bengek kering yang membosankan, yang hanya diperlukan untuk mempertahankan agar disetiap akhir bulan, aku dapat memastikan bahwa setiap tagihan, bill, janji bayar dan cicilan hutangku dapat terbayarkan.
Boleh lah kau katakan bahwa aku "menderita" atau mungkin tidak "sebahagia" orang2 yang mencintai pekerjaannya, yang melakukan apa yang diinginkannya dan mereka mendapatkan imbalan darinya. Ah, tapi aku yakin bahwa orang2 segolonganku, orang2 "menderita" itu, pasti jumlahnya lebih banyak daripada beberapa gelintir orang "bahagia" yang mendapatkan berkah yang melimpah dari Nya atau keberanian yang tinggi untuk memilih setiap kepada mengerjakan sesuatu hanya apa yang dicintai dan diminatinya...

Tapi ini bukan cerita mengenai idealisme yang makin murah dan tidak berharga belakangan hari ini... juga bukan curhat tentang pekerjaanku yang serba "terpaksa" ini, sehingga darinya hanya menghasilkan prestasi yang serba medioker, maksain, dan banyak diwarnai kontroversi dan keberuntungan.
Ini lebih pada sebuah tulisan rangkuman selama kira2 4 bulan, aku tidak terkoneksi [dan entah kapan lagi, tiba2 akan mengalami hal serupa]. Tulisan sisipan memanfaatkan setiap detik peluang yang ada, membangun monumen dan prasasti ku yang kelak -semoga- akan dikunjungi oleh anak dan keluargaku bila mereka ingin tahu siapa sebenarnya aku.

Banyak hal yang terjadi, diantaranya ;
* Rumi khitan dan karenanya menjadi makin besar dan dewasa lah dia dengan segala kerepotan dan kebingungannya.
* Ada new member di keluarga Navarra.... Risa di transfer dari Blitar ke Tangerang. Masuk kelas 3 di SDIT Asy-Syukriah bareng Rumi.. Semoga berguna bagi semuanya...
* Rumi ganti lagi dari Garfield ke Giordano merah.... frame separoh rangka.. makin mirip punya afghan... :)
* Pekerjaanku sedang mengalami transisi besar... kesulitan dan ancaman silih berganti datang dengan kesempatan dan peluang..
* Rendra mangkat..
* Mbah Surip berbahagia disana...
* Malaysia kian hari kian nakal..
* Teroris dan Polisi seperti judul film "kejarlah daku kau kutangkap"
* Tentang Tetangga yang sangat baik dan sangat tidak baik..
* Tentang banyak hal lagi..

Setiap moment diatas sebenarnya mengandung detail2 yang manis untuk diceritakan. Tetapi disamping mood dan moment nya sudah lewat, aku harus menghitung waktuku yang tidak berlimpah ini untuk menulis. Maka aku putuskan untuk bergerak kedepan, dan menyimpan moment2 terlewat diatas hanya dalam baris kalimat2 pendek diatas. Persis seperti bila kita sudah sekian lama tidak mencetak buku tabungan kita, maka pada saat kita mencetaknya lagi, akan terlihat akumulasi transaksi yang tidak detail dan periodik.

Sekianlah perayaan kegembiraanku atas "tersambung" nya kembali aku ke dunia.... :)