Jumat, 19 Maret 2010

Pray for my son

Gen. Douglas MacArthur

Build me a son, O Lord, who will be strong enough to know when he is weak, and brave enough to face himself when he is afraid; one who will be proud and unbending in honest defeat, and humble and gentle in victory.



Build me a son whose wishes will not take the place of deeds; a son who will know Thee -- and that to know himself is the foundation stone of knowledge.



Lead him, I pray, not in the path of ease and comfort, but under the stress and spur of difficulties and challenge. Here let him learn to stand up in the storm; here let him learn compassion for those who fail.



Build me a son whose heart will be clear, whose goals will be high; a son who will master himself before he seeks to master other men; one who will reach into the future, yet never forget the past.



And after all these things are his, give him, I pray, enough of a sense of humor, so that he may always be serious, yet never take himself too seriously. Give him humility, so that he may always remember the simplicity of true greatness, the open mind of true wisdom, and the meekness of true strength.



Then I, his father, will dare to whisper, "I have not lived in vain

Jumat, 12 Maret 2010

Paranoia Kristenisasi


copy paste dari tulisan kang Hasan di [berbual.com]

Suatu ketika di tahun 2005. Saat itu saya bekerja sebagai dosen di sebuah PTN di Kalimantan. Kebetulan saya menjabat sebagai Ketua Jurusan/Program Studi. Saya sebetulnya baru saja pulang dari tugas belajar di luar negeri. Saya diangkat jadi Ketua Jurusan karena posisi itu lowong, dan kami sedang kekurangan staf pengajar.
Suatu hari saya menerima SMS berbunyi sebagai berikut:
“Tolong kau awasi gerak-gerik Ibu B itu. Hati-hati, sudah ada satu
mahasiswa kita yang dia murtadkan.”
Pengirim SMS itu adalah kawan saya, beberapa tahun lebih tua dari saya. Saya mengenal dia sejak sama-sama kuliah. Kebetulan kami satu fakultas, dan saya juga pernah tinggal sekamar dengan dia di asrama daerah tempat saya tinggal di masa-masa awal kuliah dulu. Saat mengirim SMS itu dia adalah Dekan di fakultas tempat saya bekerja. Artinya dia adalah atasan saya.
Ibu B yang dimaksud dalam SMS ini adalah dosen di jurusan saya. Dia berasal dari Toraja. Umurnya beberapa tahun di bawah saya, dan sudah menjadi dosen di tempat itu beberapa tahun.
Saya abaikan SMS tadi. Alasan saya, itu tidak ada kaitannya dengan tugas saya. Kalaupun benar Ibu B tadi melakukan kristenisasi, selama dia tidak melakukannya dengan menggunakan posisi dia sebagai dosen atau fasilitas kampus, saya tidak berhak melarangnya. Itu prinsip saya.
Meski tak pernah secara serius berfikir tentang isu kristenisasi tadi, toh saya akhirnya sampai juga pada titik terang duduk persoalannya. Semua terjadi nyaris secara kebetulan.
+++
Suatu pagi, saat baru saja tiba di kampus dan hendak memarkir mobil, beberapa mahasiswi mendatangi saya sambil berteriak panik. Rupanya ada mahasiswi bernama A yang sedang kambuh asmanya. Melihat keadaannya saya langsung memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit. Beberapa mahasiwa menggotong tubuh si A ke mobil saya, tiga mahasiswi teman si A tadi ikut masuk. Lalu kami bergerak menuju rumah sakit yang berjarak kurang lebih 2 kilometer dari kampus.
Saya cukup panik selama menyetir. Anak perempuan saya kebetulan juga penderita asma. Tapi saya tidak pernah melihatnya kambuh semenderita si A ini. Nafasnya tersengal-sengat. Saya khawatir dia kehabisan nafas dan meninggal di mobil saya.
Saya pacu mobil saya sekencang mungkin. Saya hidupkan lampu hazard, sambil sesekali membunyikan klakson panjang. Saya berharap kendaraan di depan mau menepi. Saat itu jalan memang sedang ramai, persis saat orang-orang sedang dalam perjalanan ke tempat kerja.
Sampai di bagian UGD si A langsung mendapat pertolongan pertama. Setelah memastikan dia baik-baik saja, termasuk mengecek apakah dia punya uang untuk membayar biaya perawatan, saya putuskan untuk kembali ke kampus. Si A harus tinggal untuk rawat inap. Dua orang temannya yang tadi ikut mengantar, kembali ke kampus bersama saya.
Dari obrolan sepanjang jalan dengan dua mahasiswi tadi barulah saya tahu bahwa si A ini adalah „korban kristenisasi“ yang saya sebutkan tadi. Agak kaget saya, karena teman-teman yang mengantar dia tadi, saya duga teman terdekat dia, semua memakai jilbab dan aktif di berbagai kegiatan Islam di kampus. Lebih kaget lagi karena saya kemudian tahu bahwa si A ini kebetulan pernah bersekolah di Madrasah Tsanawiyah dan SMA yang sama dengan saya.
Tentu saja pembicaraan menyinggung soal kristenisasi tadi. Menariknya, mahasiswi para aktivis Islam ini sama sekali tidak menyalahkan Ibu B. Mereka bercerita bahwa si A ini memang sedang labil, karena ada masalah keluarga. Keluarganya sendiri ternyata beragama Katolik. Hanya dia sendiri yang Islam. Dia kebetulan tinggal satu kos dengan Ibu B. Dan dalam situasinya yang labil itu dia memutuskan untuk pindah agama.
Belakangan, lagi-lagi tanpa niat menyelidiki, saya juga berbincang dengan Ibu B soal si A tadi. Cerita yang saya dapat tak jauh berbeda dengan yang saya dengar dari para mahasiswi tadi. Tambahannya, si A tadi sebenarnya belum pindah agama. Dia konsultasi dengan seorang pastur, dan menyatakan niatnya untuk masuk Katolik. Tapi pastur ini menyuruh dia untuk menenangkan diri dulu, kemudian mempertimbangkan kembali niatnya itu.
Ibu B tadi juga bercerita pada saya tentang fitnah yang dia terima. Seolah dia adalah agen gereja untuk melakukan kristenisasi di kampus. Yang paling menyedihkan, kata dia, seorang dosen senior yang dia anggap bijak juga sempat menjaga jarak dengan dia selama beberapa waktu. Untunglah perlahan orang-orang mulai memahami situasi sebenarnya, sehingga dia bisa hidup lebih normal di kampus.
+++
Cerita berikutnya, mundur ke tahun 70-an, saat masa kecil saya. Waktu itu di ibu kota provinsi kami belum ada rumah sakit pemerintah. Satu-satunya rumah sakit yang memadai adalah rumah sakit milik organisasi Katolik. Saya ingat betul, para perawatnya sebagian adalah suster gereja. Di sebelah rumah sakit ini ada gereja yang cukup besar. Dan di setiap ruangan perawatan terpajang salib di dinding.
Di rumah sakit itu anggota keluarga kami mendapat pelayanan medis. Emak, Ayah, Abang, Kakak, pernah dirawat di sini. Juga kakek, nenek, paman. Beberapa dari mereka mendapat keringanan biaya karena tergolong miskin. Dengan selembar surat keterangan dari kepala kampung, keringanan biaya itu diperoleh.
Tapi, ini yang penting, tidak ada satupun dari mereka yang pernah mendapat iming-iming untuk pindah agama. Tak satupun. Saya sering mendengar cerita tentang rumah sakit Kristen yang digunakan untuk kristenisasi. Orang miskin dibebaskan dari biaya asal mau masuk Kristen. Orang yang sedang sekarat dibimbing dengan tata cara Kristen, agar mati dalam keadaan Kristen. Tapi selama keluaga kami menerima layanan dari rumah sakit Katolik tadi, tak satupun yang mendekati kami untuk melakukan kristenisasi.
+++
Saya punya sepupu yang beberapa tahun lebih tua dari saya. Saat hendak masuk SD ia diambil Ayah, tinggal di rumah kami. Oleh Ayah dia disekolahkan di SD kampung kami. Saat SMP dia ikut orang lain di kampung dekat kota provinsi, sekolah dibiayai sambil membantu berbagai pekerjaan di sekolah. Dia tinggal di gedung sekolah, menjaga dan merawatnya.
Saat SMA dia pindah ke kota, tinggal di rumah yang dibangun Ayah untuk anak-anaknya yang sedang sekolah. Seorang pastur yang menjadi kepala sebuah SMA Katolik menawarinya sekolah dengan biaya dibebaskan. Jadi, biaya makan dia ditanggung Ayah, sedangkan biaya sekolahnya ditanggung oleh pastur tadi.
Saat dia mulai sekolah pastur tadi menegaskan bahwa dia tidak akan pernah mengajak sepupu saya tadi untuk masuk Katolik. Dia membantu semata-mata karena ingin membantu, tidak ada niat lain. Dan itu dipegang teguh oleh pastur tadi. Selama sekolah sepupu saya itu adalah muazin di sebuah mesjid. Sampai dia tamat SMA hingga kini dia adalah seorang muslim yang taat.
+++
Beberapa pengalaman yang saya tulis tadi mengajarkan pada saya bahwa kristenisasi sering kali adalah sesuatu yang diberi bumbu, bumbunya banyak, sehingga menutupi fakta. Salah satu sumber bumbu itu adalah paranoid, ketakutan yang berlebihan. Akibatnya semua tindak tanduk orang Kristen dipandang dalam konteks kristenisasi.
Tak jarang bumbu itu menjadi pokok cerita. Ada cerita, misalnya, tentang strategi orang Kristen. Pemuda Kristen sengaja disuruh memacari pemudi Islam, menghamilinya, lalu bersedia menikahi pemudi tadi dengan syarat dia mau masuk Kristen. Banyak yang percaya bahwa cerita ini adalah strategi yang disusun gereja dalam rangka kristenisasi.
Satu dua kejadian seperti itu mungkin ada. Sangat mungkin. Tapi mungkinkah itu sebuah strategi umat beragama secara kolektif atau kelembagaan? Bagi saya kita hanya bisa berfikir begitu kalau umat tersebut kita anggap jelmaan setan.
Saya, tentu saja, tidak mengabaikan adanya sekelompok atau banyak kelompok orang Kristen yang melakukan kegiatan kristenisasi dengan melanggar etika. Saya, misalnya, pernah menemukan sebuah website yang secara terang-terangan menyatakan missinya menjadikan Indonesia sebagai sebuah negeri Kristen.
Tapi beberapa atau banyak kelompok itu tentunya bukan semua orang Kristen. Masih banyak, dan sangat banyak orang Kristen yang melakukan aktivitas sosial tanpa motivasi mengkristenkan orang.
Sebaliknya perlu juga diingat bahwa hal yang sama terjadi pula di kalangan umat Islam. Tidak sedikit umat Islam yang menjadikan dakwah terhadap orang-orang Kristen sebagai inti kegiatannya. Tak jarang kegiatan itu dilakukan secara vulgar dan provokatif.
Abang saya, seorang dosen, pernah mengritik teman-temannya. Dalam rangkaian kegiatan Dies Natalis di kampus, salah satu kegiatannya adalah mengumpulkan dana bagi para muallaf bekas pemeluk Kristen. Pengumpulan dana itu dilakukan secara terbuka dan vulgar. Padahal di kampus itu banyak juga dosen dan mahasiswa Kristen.
Seorang Dekan di sebuah fakultas dengan enteng mengakhiri pidato di sebuah acara resmi dengan kalimat, „Maaf, saya tidak bisa hadir di acara ini sampai selesai, karena saya harus hadir di acara lain. Ada seorang pastur yang hendak masuk Islam hari ini, saya akan hadir di acara pengislamannya.“ Kalimat ini memancing emosi seorang dosen yang beragama Kristen.
Saya pernah ikut berdakwah di kampung orang Dayak. Di situ sudah berdiri mesjid, meski belum ada seorangpun yang terlihat masuk Islam. Di sekitar mesjid banyak babi berkeliaran. Kami membawa makanan, pakaian, dan barang-barang lain. Orang-orang kampung kami ajak ke mesjid, bersilatrrahmi, dengan harapan nantinya mereka tertarik untuk masuk Islam.
Orang Islam, sebenarnya juga melakukan islamisasi, dengan cara-cara yang sama dengan yang dilakukan oleh orang Kristen. Mengapa perlu marah kalau orang Kristen melakukan kristenisasi?

http://berbual.com

Masjid Yes, Gereja No Way.......


copy paste dari tulisan kang Hasan di [berbual.com]

Cerita ini terjadi saat saya masih menjadi dosen di sebuah PTN di Kalimantan. Suatu hari sebuah perbincangan sambil menyelesaikan suatu urusan dengan staf administrasi di kampus menyerempet ke sebuah isu sensitif.
“Hampir saja kita kecolongan, Bang”, kata staf administrasi yang berjilbab itu mengadu, setelah sekian lama tak bertemu saya karena saya lama meninggalkan tanah air untuk tugas belajar.
“Ada apa?”, tanya saya.
“Iya, beberapa waktu lalu orang-orang Kristen berniat mendirikan gereja di kampus ini. Untung kita cepat tahu, lalu bergerak mencegahnya. Alhamdulillah kita berhasil.”
“Kenapa dicegah? Kenapa dihalangi?”
“Lho, kan…..”
“Mbak, saya ini hampir 8 tahun tinggal di Jepang. Selama itu saya jadi minoritas dalam hal agama. Coba Anda bayangkan bagaimana rasanya kalau niat saya hendak membangun mesjid atau beribadah selama saya berada di Jepang dihalangi orang.”
“Mbak mengkhawatirkan kristenisasi?” tanya saya. Ia mengangguk.
“Apa iya kalau berdiri gereja di kampus ini lantas orang berbondong-bondong masuk Kristen?”.
Ia lalu terdiam, dan percakapan kami berakhir.
+++
Pola fikir staf administrasi tadi sebenarnya pernah saya anut. Waktu itu saya masih kuliah di UGM dan aktif di organisasi dakwah kampus. Saat itu di UGM belum ada mesjid, dan kami sedang bersiap untuk mengumpulkan dana bagi pembangunan mesjid. Mantan Rektor, alm. Koesnadi Hardjasoemantri menjadi ketua panitia.
Saat itu kami mendengar bahwa orang-orang Kristen akan mendirikan gereka di kampus. Lokasinya tak jauh dari lahan yang hendak digunakan untuk membangun mesjid. Kami langsung bereaksi. Rencana pembangunan gereja ini harus dihentikan!
Kami, beberapa aktivis Islam di kampus melakukan berbagai lobi. Yang terutama tentu kepada Rektor. Pergilah kami menghadap Rektor, menanyakan soal rencana itu, dan tentu saja (niatnya) menekan Rektor agar membatalkan atau mencegah rencana itu kalau benar adanya.
Sambil menunggu di ruang tamu kantor Rektor, kami berbincang dengan sekretaris Rektor. Topiknya tentu soal yang sama dengan yang hendak kami adukan ke Rektor. Lucunya, belakangan baru kami tahu bahwa sekretaris Rektor tadi adalah seorang penganut agama Kristen. Ampun, deh!
+++
Pola fikir saya berubah saat saya merasakan pengalaman menjadi minoritas. Yaitu saat saya kuliah di Jepang. Saya pernah tinggal di kota kecil di bagian selatan Jepang. Jumlah orang Islam di kota itu sangat sedikit. Tak lebih dari 50 orang. Hampir semua adalah mahasiswa asing.
Karena jumlah kami kecil, kami tak mampu untuk sekedar menyewa apartemen untuk digunakan sebagai mesjid, sebagaimana dilakukan oleh muslim di berbagai kota. Kami mengandalkan kebaikan hati satu dua profesor yang mau meminjamkan ruangan di kampus untuk dijadikan mushalla.
Suatu ketika kami tak lagi diperbolehkan memakai ruangan itu. Alasan pihak kampus, ruangan itu akan dipakai untuk keperluan akademik. Lagipula Jepang adalah negara sekuler, urusan peribadatan warga tidak boleh melibatkan fasilitas milik pemerintah. Saat itu kami benar-benar kesulitan. Kami harus salat Jumat berpindah-pindah tempat. Untunglah akhirnya ada profesor yang mau membantu mencarikan ruangan untuk dijadikan mushalla.
Di kota lain di mana saya pernah tinggal juga, kami menyewa dua ruangan apartemen untuk dijadikan mushalla. Di situlah kami melaksanakan shalat Jumat serta pengajian. Bagian lain dari apartemen ini adalah tempat tinggal yang disewa oleh orang lain, orang Jepang. Kami harus berhati-hati agar aktivitas kami tidak mengganggu kenyamanan mereka.
Kami mengumpulkan dana untuk pembangunan mesjid. Belasan tahun diperlukan hingga akhirnya dana itu terkumpul. Baru 3 tahun yang lalu kota tempat saya tinggal itu memiliki mesjid. Untungnya pemerintah Jepang yang sekuler itu tidak menghalangi. Selama syarat-syarat mendirikan bangunan dipatuhi tidak ada masalah.
Semua kejadian yang saya alami di Jepang itu mengingatkan saya pada nasib minoritas, khususnya orang Kristen di Indonesia. Mereka sering kesulitan mendirikan gereja. Beribadah di ruko atau di rumah milik sendiri pun sering diganggu. Kami, muslim yang minoritas di Jepang, untungnya tidak mengalami hal itu. Alangkah indahnya kalau minoritas di negeri muslim juga tidak mengalami hal itu.
+++
Kembali ke cerita di kampus tempat saya kerja tadi. Di kampus ini ada mesjid yang cukup besar. Dulu dibangun oleh Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Lalu, di setiap fakultas didirikan mushalla yang juga tak kecil. Tapi itu pun ternyata tak cukup. Di banyak bangunan di fakultas masih saja ada ruangan yang difungsikan sebagai mushalla. Bagi mereka yang malas untuk ke mushalla fakultas, bisa shalat di mushalla kecil ini. Yang sedikit rajin berjamaah di mushalla fakultas. Yang lebih rajin, ke mesjid.
Melihat ini semua saya merasa sesak. Keterlaluan benar orang muslim ini.
Jaman Rasulullah masih hidup, di Madinah hanya ada satu mesjid. Apa umat Islam ketika itu tidak mampu membangun lebih dari satu? Rasanya tak mungkin. Orang-orang ketika itu rela menyumbangkan apa saja untuk Islam. Mesjid hanya satu dengan tujuan persatuan. Di situlah semua orang berjamaah, bersilaturrahmi. Di satu tempat.
Kota Madinah ketika itu memang kota kecil. Saya tentu tak berharap kota sebesar Jakarta hanya punya satu mesjid. Itu tak masuk akal. Tapi saya yakin kota Madinah di jaman itu lebih besar dari area kampus saya. Kalau Madinah cukup dengan satu mesjid, kenapa kampus tidak? Kenapa kampus masih perlu ditambah dengan beberapa mushalla, plus puluhan ruangan untuk pengganti mushalla?
Dalam situasi yang sudah berlebih itu, orang Islam masih ribut ketika orang Kristen hendak mendirikan satu gereja. Hanya satu gereja saja.
Adilkah kita ini? Tidakkah kita ini berlebihan? Seingat saya tidak adil dan berlebihan adalah dua sifat yang dibenci Allah.

http://berbual.com

Fundamentalisme Mata Kaki


copy paste dari tulisan kang hasan di [berbual.com]

Namanya Khaleed, orang Pakistan. Perawakannya kurus tinggi. Wajahnya dihiasi hidung mancung, khas orang Asia Selatan. Pipi dan dagunya dihiasi janggut tebal dan panjang. Khaleed adalah teman saya. Kami sama-sama kuliah di program doktor di sebuah universitas di Jepang. Kelak ketika sama-sama sudah lulus, dia dan saya sama-sama menjadi peneliti tamu di universitas tersebut.
Ada ciri yang cukup menonjol dalam cara Khaleed berpakaian. Meski berada di Jepang, Khaleed sering tampil dengan baju tradisional Pakistan. Baju yang mirip dengan baju koko kita, tapi lebih panjang. Yang lebih khas, ujung celana Khaleed menggantung agak tinggi, di atas mata kaki. Belakangan aku paham bahwa soal ujung celana ini adalah persoalan penting bagi dia.
Suatu hari saya mendapat giliran khutbah Jumat di Islamic Center. Dia memuji khutbah saya. “It was a very nice khutba, brother.” katanya. Ia lalu mengundang saya untuk bersilaturahmi ke rumahnya. Saya menyetujui undangan itu.
Pada hari yang kami tentukan, Khaleed dating ke apartemen saya untuk menjemput. Saya waktu itu tidak punya mobil, dan rumah Khaleed agak jauh di pinggir kota, tidak terjangkau oleh angkutan umum. Bersama istri saya, kami menuju rumah Khaleed.
Di rumah itu saya dan Khaleed berbicang, sedang istri saya bersama istri Khaleed di ruangan lain. Ini adalah suasana yang berbeda bagi saya. Kalau dengan sesama orang Indonesia kami tidak seperti. Kami selalu berkumpul di ruangan yang sama.
Setelah berbincang ringan, Khaleed menghidangkan masakan khas Pakistan, roti nan bersama kari ayam. Semuanya lezat. Setelah makan kami berbincang lebih serius.
Khaleed menyalakan komputer, menunjukkan pada saya CD-ROM yang berisi hadist-hadist. Seingat saya itu adalah kitab hadist sahih Bukhari-Muslim yang didigitalkan, ditambah dengan terjemahan bahasa Inggris. Khaleed menawari saya satu kopi CD tersebut.
Tak lama setelah itu saya paham, bahwa ada tujuan tertentu di balik semua ini. Khaleed kemudian membawa saya kepada sebuah hadist, yang erat kaitannya dengan ujung celana dia tadi. Dia menunjukkan sebuah hadist yang menceritakan bahwa Nabi pernah menegur orang yang bajunya panjang melebihi mata kaki. Ujung baju itu, kata Nabi, adalah umpan bagi api neraka.
Saya tahu soal hadist ini, jauh sebelum saya berkenalan dengan Khaleed. Dalam sebuah pengajian di kampus waktu saya masih kuliah di Indonesia kami pernah membahas hadist ini. Waktu itu ustaz menjelaskan bahwa alasan pelarangan itu adalah bahwa pada jaman itu berbaju panjang adalah cara berpakaian yang berlebihan, dan dianggap sebagai kesombongan. Salah seorang sahabat (kalau tak salah Abu Bakar) “mengeluh” bahwa ia kesulitan menjalankan larangan Nabi itu, dan oleh Nabi dikatakan bahwa ia bukan orang yang sombong. Ini dijadikan dasar bagi ustaz kami untuk menjelaskan situasi di seputar turunnya larangan itu.
Tapi bagi Khaleed soalnya lain lagi. Abu Bakar adalah satu-satunya orang yang dikecualikan dari larang itu, katanya. Itu yang dia pahami dari hadist tersebut.
Bagi Khaleed semua omongan Nabi itu fundamental. Tidak boleh ada satupun omongan Nabi yang boleh dianggap enteng atau diabaikan. Saya sepakat dengan dia soal itu. Tapi bagi saya, Nabi atau siapapun, berbicara pasti dalam suatu konteks. Konteks itu harus disertakan dalam memahami pesan.
Begitulah, saya dan Khaleed berbeda. Saat itu saya tidak mendebat Khaleed secara keras. Kami hanya berbincang biasa. Khaleed sendiri sepertinya sejak awal sudah memahami posisi yang saya ambil. Dia nampaknya hanya punya target bahwa dia harus menyampaikan hal itu kepada saya. Sesudah itu, bagi dia tugasnya sudah selesai.
Dalam berbagai kesempatan, dalam khutbah maupun obrolan biasa, Khaleed selalu mengulang-ulang pesan soal tidak menutupi mata kaki ini. Umumnya orang tidak setuju dengan dia. Tapi Khaleed tidak peduli. Ia berprinsip, apa yang harus dia sampaikan, dia sampaikan.
Bagi saya Khaleed adalah seorang fundamentalis. Dia menganggap semua teks-teks suci, Quran dan hadist, harus dimaknai secara apa adanya, sebagaimana tertulis di situ. Ia tidak menafsir bagaimana konteksnya. Ia tidak banyak-banyak menggunakan nalar untuk menduga makna yang tertulis dari sebuah kalimat suci. “Apa yang sudah ditetapkan Allah dan Rasulnya, sudah sangat jelas. Kita harus melaksanakannya.” begitu kata Khaleed selalu.
Tapi Khaleed adalah pribadi yang santun. Saat saya menyatakan ketidaksetujuan saya pada pandangan dia dengan senyum, dia juga membalas dengan senyum. Dia tegas pada prinsip, tapi tidak kasar dalam berkata. Dia tidak mudah menunding orang lain kafir, meski saya tahu dia sangat tidak sepakat dengan orang itu dalam hal yang sangat fundamental.
Di suatu Idul Fitri, usai shalat mengikuti kebiasaan orang-orang Arab, kami saling berangkulan dan mengucap “Ied Mubarak.” Saat merangkul Khaleed, dia berbisik, “This is bid’ah brother.” Saya menjawabnya dengan senyum, dan Khaleed juga tersenyum. Ciri khas Khaleed. Dia tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh banyak orang. Diam-diam dia mencoba mengoreksinya, dengan sebanyak mungkin menghindari konflik.
Khaleed mengajarkan pada saya bahwa fundamentalisme tidak selalu identik dengan permusuhan.

http://berbual.com

Selasa, 02 Maret 2010

Ketika Tuhan berkata tidak



Ketika aku berdoa,

"Ya Tuhan, ambillah kesombonganku dariku"
Tuhan berkata dalam hatiku,
"TIDAK!
Bukan Aku yang mengambilnya, tapi kau sendiri yang harus menyerahkannya."

Ketika aku berdoa,
"Ya Tuhan, berilah aku kesabaran."
Tuhan berkata dalam hatiku,
"TIDAK!
Kesabaran didapat dari ketabahan dalam menghadapi cobaan.
Ketabahan itu tidak diberikan. Kau harus dapat meraihnya sendiri."

Ketika aku berdoa,
"Ya Tuhan, sempurnakanlah kekurangan anakku yang cacat."
Tuhan berkata dalam hatiku,
"TIDAK!
Jiwanya telah sempurna. Tubuhnya hanyalah sementara."

Ketika aku berdoa,
"Ya Tuhan, berilah aku kebahagiaan."
Tuhan berkata dalam hatiku,
"TIDAK!
Manusia hanya Ku-beri keberkahan.
Kebahagiaan tergantung kepadamu sendiri untuk menghargai keberkahan itu."

Ketika aku berdoa,
"Ya Tuhan, jauhkanlah aku dari segala kesusahan."
Tuhan berkata dalam hatiku,
"TIDAK!
Penderitaan itu justru menjauhkanmu dari jerat duniawi dan mendekatkanmu pada-Ku."

Ketika aku berdoa,
"Ya Tuhan berilah aku segala hal yang menjadikan hidup ini nikmat."
Tuhan berkata dalam hatiku,
"TIDAK!
Kuberi kau kehidupan supaya dapat menikmati segala hal."

Ketika aku berdoa,
"Ya Tuhan, bantu aku untuk bisa mencintai orang lain, seperti besarnya cinta-Mu padaku."
Tuhan berkata dalam hatiku,
"...Syukurlah, akhirnya kau mengerti!"

http://luqmanhakim.multiply.com/
beni sutRisno
sent from my beniberry® with happiness...