Selasa, 20 Juli 2010

tentang iradah..


Menunggu waktu berbuka sambil berbincang mengenai "berserah diri" dengan salah satu rekan nun jauh di sana...
Saya bagi sebagai ‘Note’ dengan terlebih dahulu memohon ijin darinya.




Rekan,
:) tapi sebelumnya maaf bila tidak berkenan ya..
Ini hanyalah pengetahuanku pribadi yg dangkal dan sampai sejauh ini...
Sebentuk usaha bertukar pikir dengan sejawat mengharap kebaikan dan semoga kebenaran.

Menurutku, konsep nasib, takdir, berserah diri, dan tawakal, haruslah selalu dari waktu ke waktu diperbaharui oleh kita masing2 pribadi.

Sering kita berpendapat, bahwa kita akan berusaha sekeras mungkin, dan setelahnya mengembalikan hasilnya kepada Allah rabbul izzati.
Masalahnya adalah dimana garis batasnya. Garis demarkasi antara daerah usaha keras tersebut (domain kita manusia sbg pelaku), dengan daerah iradah Allah (domain kekuasaanNya).
Garis batas tersebut yang selalu –menurutku- harus selalu dari waktu ke waktu kita up date. Kita rentang lebih jauh dan lebih jauh lagi sekuat tenaga kita ke titik terjauh usaha kita yang paling keras.

Bayanganku…
Konsep berserah tersebut bila dimaknai dengan positif, akan membuat kita manusia, lebih semeleh, bergembira, menghargai proses dan tidak mudah patah terhadap gagal.
Tetapi bila ‘gagal makna’ dan dimaknai secara dangkal dan malas, akan sangat menggoda kita untuk fatalis, berkarakter lemah, mengikhlaskan dunia “hanya” untuk orang kafir sementara kita “cukup” dengan akhirat kelak.