Selasa, 19 Juli 2011

istriku sebentar lagi bulan puasa..

Istriku, sebentar lagi bulan puasa tiba menjelang.
Dibulan puasa itu kita diperintahkan untuk berpuasa.

Berpuasa itu artinya berpuasa.

Jadi berbelanja dan memasaklah seperti bulan biasa, sukur2 malah bisa berkurang karena kita kan sedang berpuasa.
-walau tentu saja mohon keikhlasan mu untuk menukar jam memasak menjadi agak berbeda dengan biasanya-

Disaat sahur, asal kita lakukan bersama, insya Allah hidangan apa saja akan hangat.
Disaat berbuka apa lagi, apa saja tentu akan menjadi lebih nikmat, apa saja menjadi berkah.
Berbuka dengan yang manis ? Engkau masih ada menyimpan foto ku kan ? Bila dijalan aku juga bisa meminum seteguk air sambil berkaca di spion... ;P

Dimulai dari diri kita, semoga bulan puasa dan kelak di hari raya, bukanlah menjadi saat konsumsi justru jadi tambah meningkat, pengeluaran jadi tambah berlipat.

Semoga kita termasuk orang yang berpuasa.

Senin, 18 Juli 2011

Gusti Allah tidak nDeso

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
“Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu:
pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang,
atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”

Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”

“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.

“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi.
“Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.

Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.

Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.

Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”

Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.

Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa.

Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya : kasih
sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang. Agama adalah akhlak.

Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian,
ikut misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.

Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan social pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.

Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi.
Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~

Jumat, 01 Juli 2011

10 tahun mengajarkan kami beberapa hal

Tanggal 29 Juni kemarin, genab 10 tahun usia pernikahan kami. Ada beberapa hal penting -dan tak penting- yg sejauh ini kami tandai selama 10 tahun tersebut.

10 tahun mengajarkan bahwa ternyata deg-degan, ser-seran, itu hanya salah satu bagian dari cinta. Hal-hal tersebut bukanlah bagian terpenting dari cinta, sehingga pastilah juga bukan hal penting dalam perkawinan.
Hal yg lebih penting dari segala getar dan sensasi itu adalah penghargaan yang menghormati kemandirian dan memuliakan kebersamaan.
Gampangnya, karena istriku itu mau jadi istriku dan selalu berusaha untuk bertindak sebagai istriku, maka aku merasa dimuliakan. Gantinya aku ingin sekali memuliakan istriku. Jadi tiap hari kami terus ingin saling memuliakan.

Selama 10 tahun kami mencatat, bahwa ternyata perkawinan itu tidak melulu serius dan berisikan hal2 hebat luar biasa. Perkawinan ternyata juga mengenai hal tertawa terbahak-bahak atas hal2 yg tak lucu. Bertengkar seru untuk hal2 yg remeh dan sepele. Cemburu terhadap hal konyol, salah paham dan malu2 mengakuinya. Perkawinan ternyata juga berisi berdoa bersama untuk segala kebaikan, kesehatan dan bebarengan berharap akan rejeki nomplok [tiba2 dapat undian bank misalnya ;) ]

Kami sadar setelah 10 tahun bahwa cinta kami ada dilangit, tapi kaki kami haruslah selalu menjejak bumi. Tiap hari kami berbagi untuk menopang hari. Bersama memikul hal berat, berbagi menjinjing yg ringan.
Kami bersepakat bahwa sedih itu asumsi, gembira itu keputusan, Gembira ternyata bisa diupayakan. Derita ternyata bisa diabaikan. Ya, ini hanya soal kesepakatan
Kami memutuskan bahwa dunia seisinya ini sebetulnya selalu sedang baik-baik saja. Hampir setengah dari kekeruhan itu cuma ada di kepala. Jadi kami usahakan selalu setiap ada waktu untuk memeriksa lagi isi kepala kami :) Tentu hidup bukan tanpa tekanan, tapi dengan kepala yang terang setiap tekanan bisa diajak berteman

10 tahun juga mengajarkan kami bahwa hakikat cinta bukanlah meminta, bukan menerima. Ternyata eh ternyata, cinta lebih mirip keinginan yg meluap-luap untuk memberi, yg lalu entah bagaimana secara ajaib akan berimbal kebahagiaan yg meluap-luap pula bagi sang pemberi. Demikian terus, makin besar pemberian, makin besar pula ganjaran bahagia.
Cinta adalah semacam lahan merdeka yg harus tetap dijalankan tanpa perlu menunggu balasan. Kami sepakat mengenai itu.

10 tahun mengajarkan kepada kami, tentang menginginkan apa2 yg telah dipunyai sebelum berharap ttg apa2 yang belum dipunyai. Menginginkan anak sebaik dan sehebat anak kami saat ini. Menginginkan kesehatan dan waktu luang seperti yg kami punya saat ini. Menginginkan keluarga dan sahabat, persis seperti yg kami punya saat ini.

Terima kasih Tuhan atas anugerah ini. Terima kasih atas 10 tahun kami.
Perkenankan doa kami, bukan doa tentang mencintai sampai akhir, tapi sekedar doa tentang saling mencintai di hari ini, yang selalu berulang di setiap hari.