Rabu, 18 Mei 2011

Pak Madura itu

suatu sore, seorang country manager terheran melihat seorang penjual kopi keliling yang sedari dia masuk masjid untuk sembahyang Ashar sampai dia selesai, masih saja santai sambil setengah rebahan dan bercanda dg anak kucing kecil serta menghisap gudang garam merah di pelataran masjid.

" Santai pak..?"

" iya dek...."

" itu di depan parkiran banyak taksi mangkal pak.. kenapa nggak ke sana pak ? laris lho..."

" beh, ada appa...? sudah cokop saya jualan hari ini "

" cukup gimana pak... jual lagi... masih sore ini.. itu banyak supir mangkal, kurir ngaso, angkot ngetem, banyak itu yang perlu kopi dan mau beli rokok ketengan dari sampean... jual banyak-banyak pak.... dapat hasil banyak...."

" buat appa saya jual nyak-banyak... hasil nyak-banyak...."

" biar maju pak eeee.... biar sepedah ontelnya ini nanti bisa ganti motor, biar jualnya bisa modal sendiri gak utang ke juragan sampean, biar termos air ini nanti bisa ganti pake dispenser...... Siapa tau nanti tambah gede tambah gede....bisa ganti pake mobil pikep jualannya sampean.... ada makanan kecilnya juga...... sampean harus mengumpulkan aset... eh aset itu harta, modal, biar modal sampean tambah banyak.... omzet eh, dapetnya sehari tambah banyak... Jadi kan otomatis untungnya juga jadi tambah banyak....... terus maju dan maju.... sampean nanti punya mobil pikep yang kedua, ketiga dan berikutnya... punya anak buah...Sampean harus kerja keras pak... sambil berhemat... "

" Lha terus, kalok sudah begitu mau appa saya ? "

" Aaaarrrggghhhh......!!! Ya lalu sampean jadi financial freedom... ah, pokoknya sampean jadi kecukupan lah.... Gak kekurangan lagi.....Bisa bebas dari utang, punya uang cukup, berkecukupan...... Nah.. Terus disaat itu, sampean baru bisa benar-benar menikmati hidup...."

" Jadi agar saya bisa menikmati hidup nanti ya dek ? "

" iya pak... menikmati hidup dengan tenang....."

" lha sampian peker saya sedang ngapain ini.... ? dari tadi ini ? sampek tadi tiba2 sampian lalu nyuruh-nyuruh saya tadi...saya sedang nikmatin hidup inni..... nikmati hidup dengan tenang....... sekarang ini... gak usah nunggu2 dan panjang2 seperti ikut omongannya sampian tadi.... mak neser sampian mau nikmatin hidup saja nyuruh saya cek panjangnya jalannya dik... "
" eh, saya tanyak ini ya, sampian milih manna sampian sebenernya ? harta banyak appa kepinteran menikmati hidup..? "

Si country hanya ndlongop dan tiba2 merasa bodoooooo mbanget.


9 Mei 2011 bakda Ashar.
Masjid Hidayatullah, Sudirman Jakarta.

PS. Ternyata nabi Khidir itu bisa juga nyamar jadi orang Madura takiyeh.....

*seperti yang di tausiahkan oleh Ustadz de Mello*

Tentang jidat Rumi

Malam ini karena si ibuk gak ada (sudah 2 hari on tour of duty) maka kami (aku, Rumi dan Risa) memutuskan untuk makan malam diluar. Setelah makan, mungkin karena gabungan antara kekenyangan, kecapekan dan kemaleman maka di perjalanan pulang, Rumi sudah tertidur dg sangat lelapnya.
Demikian lelapnya sampai sewaktu sudah sampai rumah dan berhasil memindahkannya ke kamar, aku gak tega utk menyuruhnya mengerjakan rutinitas sebelum tidur. Kubiarkan saja ia pergi tidur tanpa ganti baju, tanpa gosok gigi, tanpa sholat isya.

Tak lama kemudian, saat sdg berberes dan mengunci pintu2 dan jendela, tiba kudengar pintu kamar terbuka. Rumi keluar dengan terhuyung2 krn mengantuk dan dg mata masih setengah terpejam "Yah, aku belum Isya'... " katanya.
Lalu belum sempat aku jawab, entah krn sempoyongannya atau karena setengah meremnya, pas masuk kamar mandi Rumi kurang presisi. Kepalanya kejedot kusen pintu...!
Dan -bodohnya- karena melihat mulai dr keluar kamar, Rumi sdh sempoyongan dan akhirnya kejedot pintu pula, aku tertawa..... :(
Tidak terbahak, hanya tertawa pendek rasanya, tapi itu sudah cukup utk membuat Rumi marah. Mungkin gabungan atas ngantuk beratnya, kaget dan sakit kejedot pintu dan jengkel karena aku tertawa atas 'penderitaan'nya maka Rumi marah berat.
-Padahal satu hal yg selalu kuingatkan agar tdk pernah dilakukan Rumi adalah agar jangan pernah tertawa atas kesialan orang lain. Tapi aku melakukannya malam ini justru kepada Rumi. What a 'clever'...-

Lalu suasana pun memburuk. Rumi yg marah dan capek, aku yg menyesal tapi juga kaget atas reaksi dan kata2 Rumi saat marah, adalah gabungan dua hal yg cukup utk membuat suasana malam menjelang tidur menjadi sangat tidak baik.
Ah, sudahlah tak usah kuceritakan lebih detil bagaimana suasananya. Cukuplah dibayangkan bahwa adegan tadi akan membuat si Mischa itu jd kelihatan cemen akting marahnya.

Akhirnya aku turun ke bawah dan Rumi menyelesaikan Isya' nya masih dg marah2 dan beleleran air mata.

Saat ini wahai kawan, aku baru saja naik lagi ke kamar Rumi. Menyesal sekali tadi aku telah berbuat 'kebodohan' terhadap Rumi dan menyakiti hatinya dengan amat sangat. Memberinya contoh yg buruk. Menunjukkan betapa sebagai ayah, aku cuma bisa sok pinter tapi tak becus memberi tauladan.

Dan kau tahu apa yg membuatku saat ini beleleran jg spt mata Rumi waktu marah tadi ? Ternyata jidat Rumi benjol. Memar bengkak. Tidak parah memang dan aku yakin besok pagi akan segera hilang. Tapi bengkak memar jidat Rumi membuat perasaanku jadi teraduk-aduk.

Ya Allah, betapa banyak yg harus aku tiru dari anakku ini. Disaat sangat lelah penat, sempoyongan dan dg mata setengah terpejam, dia masih berusaha menguatkan niat dan berusaha keras menyeret badannya untuk bangun dan menjalankan kewajibannya dg segenap hati. Begitu penting bagi dia menunaikan kewajibannya thd Tuhannya.
Ini tamparan kedua untuk ku malam ini, betapa tak seteguh dan segenap hati aku, bahkan bila dibandingkan hanya dg Rumi, dalam menggenapi kewajibanku kepadaMu ya Allah.

Ayah yakin nak, kelak.. Kelak nanti... Disaat semua mulut terkunci tak lagi kuasa bicara. Maka jidatmu akan bersaksi, bahwa dia dulu pernah memar bengkak karena bersama hati dan tubuhmu berusaha menunaikan ketaatanmu pada Tuhanmu.

Terima kasih telah menjadi anak baik le...
Kamu hebat, paling tidak menurut ayah....

Berpanjang angan

Pagi ini 'in the peace of the morning' seorang rekan saya menyapa dengan komennya mengenai berpanjang angan.

Kebetulan dua hari ini saya memang sedang memikirkan tentang betapa tak terbatasnya angan dapat memanjang, lebar dan meluas.
Berita kematian Ratna Indraswari Ibrahim dua hari yang lalu membuat saya berpikir bahwa hanya kekuatan angan yang membuat beliau ditengah cacat fisik tubuh yang –dibanding dengan kondisi kebanyakan orang ‘normal’ lainnya- sedemikian parah, keterbatasan pandangan akibat glukoma dan begitu banyak handicap lainnya, dapat berkarya menghasilkan sekian ratus cerpen, novel dan juga menjadi fasilitator sekaligus aktivis bagi penyelamatan lingkungan dan budaya di kota Malang tempat tinggalnya.
Bagaimana mungkin seorang yang dilahirkan dalam keadaan cacat, tak pernah sekejap pun merasakan ‘nikmat hidup’ sebagai seorang normal, dapat menceritakan di cerpen2nya tentang betapa indahnya hidup, tentang bagaimana seharusnya orang berpikir dan bersikap baik terhadap hidupnya, tentang betapa indahnya hidup dan oleh karenanya selalu layak untuk dinikmati dengan berterima kasih terhadap kehidupan. Bercerita dengan lancar dan indah tentang elan kehidupan.
Satu hal yang saya ingat dari tulisannya adalah ‘orang yang tak berterima kasih terhadap sesama, terhadap alam, terhadap kehidupan, dia tidak berterima kasih terhadap Tuhan’