masih dari amang Mula... mohon ijin ya amang...Antara Jamuan Cocktail dan Pesta Batak di Gedung Hermina atau Kolpatarin ItuOleh: Mula HarahapSaya adalah anggota yang cukup aktif dari sebuah milis yang mayoritas angotanya adalah orang-orang Batak. (Sebuah milis yang membicarakan tentang Tuhan dan adat "pulak". Bayangkanlah bagaimana gegap-gemptanya). Tapi setelah bertemu dengan Facebook kehadiran saya di milis tersebut memang menjadi kurang intensif. Beberapa kawan saya, anggota milis tersebut, rupanya melihat juga apa yang terjadi atas diri saya, dan mengeluarkan komentar atau guyonannya. Kepada mereka saya mengatakan bahwa ini adalah yang sangat biasa dan manusiawi: Semua orang akan asyik-masyuk dengan "barang baru". Tapi setelah 2 bulan menjadi anggota Facebook, saya rasa, saya sudah menemukan keseimbangan. Saya sudah tahu kelemahan dan kelebihan Facebook dibandingkan dengan media yang lainnya (milis dan blog). Facebook itu ternyata adalah media untuk bertegur-sapa. Disebabkan oleh banyaknya feature yang ditawarkan olehnya, maka perhatian orang menjadi terbelah. Orang tidak punya waktu dan tidak suka berkomunikasi secara intens di Facebook. Kita publikasikan status kita (apa yang sedang kita pikirkan atau rasakan) lewat satu-dua kalimat pendek di atas page kita, lalu kawan-kawan akan menanggapi atau mengomentarinya. Agar ditanggapi, status itu sebaiknya yang ringan-ringan saja ("mula harahap sedang ke gymn dan habis itu mau ke salon….", "mula harahap sedang menikmati secangkir kopi di starbuck….", "mula harahap siap-siap mau bobok"…..dsb). Jangan lemparkan status yang membuat orang mengernyitkan kening. Seorang kawan saya–dasar seorang filsuf–suka sekali membuat status yang menyerupai sajak Joko Pinurbo. Yah, tentu saja statusnya tak dikomentari orang. Hahahaha…. Ternyata di Facebook foto lebih berbicara daripada tulisan. Karena itu kalau kita punya kamera digital rajin-rajinlah mengambil foto dan men-tag-nya (membuatnya masuk di page kawan-kawan), apalagi mereka yang tampangnya ada di foto tersebut. Saya jamin komentar akan banyak bermunculan. Saya tak tak memiliki kamera digital, dan–yang lebih parah lagi–tak tahu mengoperasikan kamera digital. Karena itu page saya cenderung "holan hata-hata" ("cuman kata-kara doang"). Yah, tentu saja page itu jadi sepi dari komentar. Facebook memang memiliki feature bernama "note" yang memungkinkan kita menaruh tulisan-tulisan yang relatif panjang di page dan men-tag-nya (mengingatkan kawan-kawan tertentu agar membacanya). Tapi seperti yang telah saya jelaskan di atas, orang-orang atau kawan-kawan kita itu tak terlalu tertarik untuk membacanya. Seorang teman saya selalu menaruh tulisan dari blog-nya di Facebook. Tapi tulisan itu sepi tanggapan/komentar. Sementara bila di blog-nya tulisan yang sama selalu banyak mendapat tanggapan/komentar. Mungkin karena di Facebook identitas seseorang cenderung lebih terbuka dan jelas, maka komunikasi berjalan lebih santun. Di Facebook nyaris tak ada caci-maki. Yang ada ialah saling memuji atau melontarkan guyonan. Berdasarkan pengalaman 2 bulan mengkutak-katik Facebook, maka saya tiba pada kesimpulan berikut ini: Facebook (dan media lain yang sejenis seperti Friendster, Multiply dsb) adalah media pergaulan yang agak "sopan" tapi kurang intens. Saya suka membayangkan Facebook seperti sebuah jamuan cocktail. Orang-orang bergerak kesana-kemari dan hinggap disana-sini beberapa saat seperti capung. Orang-orang hanya bertegur-sapa dan bicara hal yang ringan-ringan serta saling bertukar kartu nama. Kalau kita mau berdiskusi,berdebat dan bertengkar-tengkar maka media yang paling tepat adalah milis. (Dan kita jangan salah, pertengkaran adalah suatu hal yang juga memberi manfaat bagi kesehatan jiwa). Saya suka membayangkan milis (apalagi milis yang membahas tentang politik atau agama) seperti pestanya orang-orang Batak. Ribut, berpanjang-panjang, penuh dengan perdebatan dan pertengkaran, tapi intens. Bahkan, acapkali, "kelewat" intens Begitulah, setelah 2 bulan "berfacebookria", akhirnya saya–seorang Batak–menemukan sebuah keseimbangan baru: Saya akan tetap pergi ke jamuan-jamuan cocktail yang bernama Facebook itu. Tapi karena orang yang hadir dalam jamuan-jamuan seperti itu sangat beragam dan tidak selalu sama "adatnya" dengan saya, maka tentu saja saya harus "jaga diri". Saya jangan langsung meminum anggur yang disodorkan itu dalam sekali tenggak. Saya jangan bercakap-cakap dengan suara keras. Saya jangan "mojok" hanya dengan satu atau dua orang tertentu. Saya harus membawa kartu nama. Jangan mencatat nama dan nomor telepon di balik kertas bungkus rokok. Itu tak sopan. Tapi undangan ke pesta-pesta Batak yang bernama milis itu, tak boleh pula saya tampik. Di sana–sebaliknya–saya jangan terlalu sopan. Itu bukan jamuan cocktail. Kalau pembagian "jambar" daging itu memang tak pantas, saya boleh marah-marah. Kalau saya diminta untuk berbicara–apalagi kalau di perhelatan itu kedudukan saya relatif tinggi–saya boleh bicara berpanjang-panjang dengan suara keras, sampai nanti diingatkan oleh protokol. Di antara "jamuan cocktail" dan "pesta Batak di Gedung Hermina atau Kolpatarin" itu tentu saja terdapat ruang pribadi atau "rumah" saya. Itulah blog. Di sana saya boleh lebih suka-suka. Mau bernyanyi, mau merepet, mau berdoa, terserah. Menjadi Batak (atau Jawa, Toraja, Nias dsb) sekaligus menjadi Kristen (atau Islam, Budha, Hindu dsb), menjadi Indonesia, dan menjadi warga dunia sungguh adalah sebuah seni yang harus dipelajari sendiri lewat pengalaman hidup
Beni SutRisno "happiness is an option. you can live in it every day" Sent not from my BlackBerry® powered not by Sinyal Kuat INDOSAT |