Kata Beni
Kamis, 19 Oktober 2023
Urutan Happiness
Saya kemarin ingat pernah bikin draft yang mirip dengan urutan ini pak….
Saya cari gak ketemu note book nya di rumah.
Ternyata ketemu pagi ini di T8
1. Physically : begitu tidak sehat, anything else will be nothing.
2. Mentally ; Depresi, cemas, merasa tidak dicintai, maka having more money will make you more misserable
Kesalahan umum adalah orang merasa bahwa ketika mendapatkan uang, maka depresi mereka akan hilang, cemas akan pergi, dan orang akan ujug-ujug lalu menjadi mencintainya. Menurut. saya bukan begitu cara kerja dunia ini.
3. Spiritually : bukan (hanya terbatas) soal agama saja. Tapi lebih ke apa anggapan kita mengenai kenapa kita ada disini, untuk apa, purpose of life. The things that we thought every single morning when we wake up
4. Tentu saja financially…
Dan urutan ini adalah in exact order. Agak susah untuk dibolak-balik urutannya 😊
Rabu, 15 Juli 2020
Berkata tidak
Keinginan untuk mendapat kesan yang baik dalam pikiran orang lain acapkali membuat kita segan mengatakan tidak pada siapa pun dan mengenai hal apa pun.
Hendaklah kita membina kemampuan untuk mengatakan tidak terhadap kegiatan-kegiatan dimana kita tidak mempunyai waktu atau bakat untuk melaksanakannya, dan dimana kita tidak mempunyai minat atau perhatian untuk melaksanakannya.
Jika kita belajar mengatakan tidak kepada banyak hal, maka kita akan mampu mengatakan ya kepada hal-hal yang sangat penting.
Anonymus
Jumat, 07 Desember 2012
Mencintai yang dibenci
Pagi ini karena mobil akan ditarik oleh rental, maka aku minta mbak asisten dirumah untuk mengambil semua barang dari mobil. Diulang, SEMUA! Dan seperti biasa yang dia lakukan atas segala instruksiku, sami'na wa atho'na. Dia mengerjakannya dengan tanpa reserve, tanpa banyak tanya.
Lalu kemudian aku berangkat. Berangkat biasa seperti tiap pagi saya lakukan. Memastikan perangkat perang menaklukkan jalanan ibu kota pagi ini telah lengkap terbawa. Kaca mata hitam, cemilan, kopi dingin, dan -paling penting- hape telah terbawa.
Perjalanan juga seperti biasa, lampu merah yang lelet, rider motor bernyawa cadangan, ibu pengemis, angkot, polisi, pak ogah, pedagang asongan, jalanan, halte, dan terik matahari Desember yang seperti memanfaatkan pagi semaksimal mungkin sebelum sebentar siang harus berbagi tempat dengan mendung.
Rute yang biasa juga, yang setiap hari aku lewati. Yang kalo di perlombaaan MotorGP telah memasuki diatas lap ke 10 sehingga sudah ada racing line nya. Tanpa berpikirpun tangan kiriku telah hafal kapan harus mengambil jalur mana. Tangan kanan telah hafal di posisi mana aman untuk hanya melirik, kapan bisa membaca, dan kapan bisa mulai texting di hape.
Sampai di pintu tol Kapuk, jalur paling kanan seperti biasa untuk jalur GTO. Tangan kiri meraih E-Tol Card di kantong dashboard. Tapi sebentar...! Hah?! Kartu tidak ada! Baru sadar bahwa ternyata semua barang telah diturunkan dari mobil. Padahal posisi sudah masuk jalur GTO. Lalu aku beri tanda lampu darurat, meminta dua mobil dibelakangku untuk mundur supaya aku bisa pindah ke jalur biasa.
Setelah berhasil mundur, dan masuk jalur biasa, baru sadar juga bahwa ternyata uang recehan di laci juga diturunkan oleh si mbak. Bahwa dompet di laci juga diturunkan. Persis seperti perintahku tadi pagi "Semua barang kecuali karpet dan kotak P3K". Mampus! Dibelakang adalah mobil-mobil yang kesal karena aku telah memotong antrian pindah dari jalur GTO ke jalur antrian mereka.
Sesampai di loket tol ;
"Mbak saya nggak bawa duit. Lupa nggak bawa dompet"
"Bagaimana pak? tidak ada lagi receh-receh?"
"Blas tidak ada mbak"
"Berhenti saja dulu di depan pak, yang belakang sudah antri"
"OK mbak"
Lalu aku maju dan menepi tanpa punya ide mesti dapat darimana uang 12,500 untuk bayar tol. Sejurus kemudian ada mobil Avanza berhenti di depanku. Pengendaranya turun menghampiri.
"Ada masalah pak?"
"Saya ketinggalan dompet pak"
"Oh, kalau begitu ini pakai saja dulu" tukasnya sambil mengulurkan pecahan biru lima puluh ribuan.
"Terima kasiiiiihhh pak... saya minta nomer bapak ya, nanti saya ganti pak"
"Saya David, nomer says bla bla bla..."
"OK pak, Thanks!"
Setelah itu aku membayar ke mbak tol, dan meneruskan perjalanan.
Aku benci mereka yang salah masuk GTO. Bagiku mereka itu 'buta tulisan'. Pekok ndas growak yang bisa membaca tulisan besar merah tepat diatas jalur GTO 'HANYA UNTUK PENGGUNA E-TOL CARD' tanpa bisa mengerti artinya. Beberapa kali sebelumnya aku mengklakson-klakson panjang mereka yang kebingungan karena telah salah masuk GTO tanpa punya kartu tol. Sekedar kesal atau agar mereka tambah panik dan tidak pernah lagi mengulangi kebodohan sejenis.
Aku nggak suka mereka yang bekerja dengan kuping yang di tutup earphone. Bagiku dengan kuping ditutup begitu mereka jadi akan setengah bego dan tidak responsif. Tidak pantas sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain, dilakukan sambil memakai earphone.
Aku tidak respek kepada mereka yang mobilnya ditempeli stiker ABRI, Polisi, angkatan ini, korps itu, keluarga besar ini, putra-putri itu. Kalaupun mereka benar anggota ini itu tadi, apa perlunya orang sejalanan tahu mengenai hal itu. Apalagi kalau ternyata bukan anggota dan sekedar asal pasang stiker. Bagiku orang yang demikian itu adalah orang aneh yang bahkan meragukan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah mobil mereka tanpa bantuan berhala stiker-stiker itu.
Dan pagi ini, pagi ini aku masuk GTO tanpa kartu tol. Dua mobil dibelakangku tadi mundur tanpa klakson-klakson panjang.
Dan mbak tol tadi, yang mempersilahkan aku maju dan menepi ke depan, yang percaya bahwa aku nggak terus kabur tanpa bayar tol, bekerja dengan earphone putih di kupingnya.
Dan mobil pak David tadi ada stiker kecil tapi mencolok di pojok kiri bawah kaca belakangnya bergambar panah terentang dengan tulisan diatasnya 'BARESKRIM'
Terima kasih dua mobil dibelakangku, terima kasih mbak tol, terima kasih pak David. Khotbah Jumat ini dari anda semua sepertinya bertajuk 'Mencintai yang dibenci'
PS. barusan sms masuk dari pak David menjawab sms saya yg menanyakan nomer rekeningnya "Sudahlah pak, tidak apa2. Sesama pengemudi mobil, saling bantu di jalan."
Lalu kemudian aku berangkat. Berangkat biasa seperti tiap pagi saya lakukan. Memastikan perangkat perang menaklukkan jalanan ibu kota pagi ini telah lengkap terbawa. Kaca mata hitam, cemilan, kopi dingin, dan -paling penting- hape telah terbawa.
Perjalanan juga seperti biasa, lampu merah yang lelet, rider motor bernyawa cadangan, ibu pengemis, angkot, polisi, pak ogah, pedagang asongan, jalanan, halte, dan terik matahari Desember yang seperti memanfaatkan pagi semaksimal mungkin sebelum sebentar siang harus berbagi tempat dengan mendung.
Rute yang biasa juga, yang setiap hari aku lewati. Yang kalo di perlombaaan MotorGP telah memasuki diatas lap ke 10 sehingga sudah ada racing line nya. Tanpa berpikirpun tangan kiriku telah hafal kapan harus mengambil jalur mana. Tangan kanan telah hafal di posisi mana aman untuk hanya melirik, kapan bisa membaca, dan kapan bisa mulai texting di hape.
Sampai di pintu tol Kapuk, jalur paling kanan seperti biasa untuk jalur GTO. Tangan kiri meraih E-Tol Card di kantong dashboard. Tapi sebentar...! Hah?! Kartu tidak ada! Baru sadar bahwa ternyata semua barang telah diturunkan dari mobil. Padahal posisi sudah masuk jalur GTO. Lalu aku beri tanda lampu darurat, meminta dua mobil dibelakangku untuk mundur supaya aku bisa pindah ke jalur biasa.
Setelah berhasil mundur, dan masuk jalur biasa, baru sadar juga bahwa ternyata uang recehan di laci juga diturunkan oleh si mbak. Bahwa dompet di laci juga diturunkan. Persis seperti perintahku tadi pagi "Semua barang kecuali karpet dan kotak P3K". Mampus! Dibelakang adalah mobil-mobil yang kesal karena aku telah memotong antrian pindah dari jalur GTO ke jalur antrian mereka.
Sesampai di loket tol ;
"Mbak saya nggak bawa duit. Lupa nggak bawa dompet"
"Bagaimana pak? tidak ada lagi receh-receh?"
"Blas tidak ada mbak"
"Berhenti saja dulu di depan pak, yang belakang sudah antri"
"OK mbak"
Lalu aku maju dan menepi tanpa punya ide mesti dapat darimana uang 12,500 untuk bayar tol. Sejurus kemudian ada mobil Avanza berhenti di depanku. Pengendaranya turun menghampiri.
"Ada masalah pak?"
"Saya ketinggalan dompet pak"
"Oh, kalau begitu ini pakai saja dulu" tukasnya sambil mengulurkan pecahan biru lima puluh ribuan.
"Terima kasiiiiihhh pak... saya minta nomer bapak ya, nanti saya ganti pak"
"Saya David, nomer says bla bla bla..."
"OK pak, Thanks!"
Setelah itu aku membayar ke mbak tol, dan meneruskan perjalanan.
Aku benci mereka yang salah masuk GTO. Bagiku mereka itu 'buta tulisan'. Pekok ndas growak yang bisa membaca tulisan besar merah tepat diatas jalur GTO 'HANYA UNTUK PENGGUNA E-TOL CARD' tanpa bisa mengerti artinya. Beberapa kali sebelumnya aku mengklakson-klakson panjang mereka yang kebingungan karena telah salah masuk GTO tanpa punya kartu tol. Sekedar kesal atau agar mereka tambah panik dan tidak pernah lagi mengulangi kebodohan sejenis.
Aku nggak suka mereka yang bekerja dengan kuping yang di tutup earphone. Bagiku dengan kuping ditutup begitu mereka jadi akan setengah bego dan tidak responsif. Tidak pantas sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan orang lain, dilakukan sambil memakai earphone.
Aku tidak respek kepada mereka yang mobilnya ditempeli stiker ABRI, Polisi, angkatan ini, korps itu, keluarga besar ini, putra-putri itu. Kalaupun mereka benar anggota ini itu tadi, apa perlunya orang sejalanan tahu mengenai hal itu. Apalagi kalau ternyata bukan anggota dan sekedar asal pasang stiker. Bagiku orang yang demikian itu adalah orang aneh yang bahkan meragukan kemampuan mereka sendiri untuk menyelesaikan masalah mobil mereka tanpa bantuan berhala stiker-stiker itu.
Dan pagi ini, pagi ini aku masuk GTO tanpa kartu tol. Dua mobil dibelakangku tadi mundur tanpa klakson-klakson panjang.
Dan mbak tol tadi, yang mempersilahkan aku maju dan menepi ke depan, yang percaya bahwa aku nggak terus kabur tanpa bayar tol, bekerja dengan earphone putih di kupingnya.
Dan mobil pak David tadi ada stiker kecil tapi mencolok di pojok kiri bawah kaca belakangnya bergambar panah terentang dengan tulisan diatasnya 'BARESKRIM'
Terima kasih dua mobil dibelakangku, terima kasih mbak tol, terima kasih pak David. Khotbah Jumat ini dari anda semua sepertinya bertajuk 'Mencintai yang dibenci'
PS. barusan sms masuk dari pak David menjawab sms saya yg menanyakan nomer rekeningnya "Sudahlah pak, tidak apa2. Sesama pengemudi mobil, saling bantu di jalan."
Senin, 19 November 2012
Saat tidak bahagia
Saat tidak bahagia, maka berusahalah bahagia. Bukannya malah menarik sebanyak mungkin orang untuk berpartisipasi dalam ketidak bahagianmu itu.
Satu minggu satu tulisan
Judul diatas adalah judul afirmasi.
Semoga kelak memang terlaksana dan menjadi kenyataan. Menjadi kebiasaan yang memang harus dipaksa keras di awal.
Marilah kita lihat.....
Semoga kelak memang terlaksana dan menjadi kenyataan. Menjadi kebiasaan yang memang harus dipaksa keras di awal.
Marilah kita lihat.....
Jumat, 11 Mei 2012
Senin, 12 Maret 2012
Jangan menunggu
Jangan menunggu bahagia baru tersenyum, tapi tersenyumlah, maka kamu kian bahagia.
Jangan menunggu kaya baru beramal, tapi beramalah, maka kamu akan semakin kaya.
Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah, maka kamu akan termotivasi.
Jangan menunggu dipedulikan orang baru kamu peduli, tapi pedulilah dengan orang lain! Maka kamu akan dipedulikan...
Jangan menunggu orang memahami kamu baru kamu memahami dia, tâÞi pahamilah orang itu, maka orang itu paham dengan kamu.
Jangan menunggu terinspirasi baru menulis. tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam tulisanmu.
Jangan menunggu proyek baru bekerja, tapi bekerjalah, maka proyek akan menunggumu.
Jangan menunggu dicintai baru mencintai, tapi belajarlah mencintai,maka kamu akan dicintai.
Jangan menunggu banyak uang baru hidup tenang, tapi hiduplah dengan tenang. Percayalah,. bukan sekadar uang yang datang tapi juga rejeki yang lainnya.
Jangan menunggu contoh baru bergerak mengikuti, tapi bergeraklah,maka kamu akan menjadi contoh yang diikuti.
Jangan menunggu sukses baru bersyukur. tapi bersyukurlah, maka bertambah kesuksesanmu.
Jangan menunggu bisa baru melakukan, tapi lakukanlah! Kamu pasti bisa!
Jangan menunggu kaya baru beramal, tapi beramalah, maka kamu akan semakin kaya.
Jangan menunggu termotivasi baru bergerak, tapi bergeraklah, maka kamu akan termotivasi.
Jangan menunggu dipedulikan orang baru kamu peduli, tapi pedulilah dengan orang lain! Maka kamu akan dipedulikan...
Jangan menunggu orang memahami kamu baru kamu memahami dia, tâÞi pahamilah orang itu, maka orang itu paham dengan kamu.
Jangan menunggu terinspirasi baru menulis. tapi menulislah, maka inspirasi akan hadir dalam tulisanmu.
Jangan menunggu proyek baru bekerja, tapi bekerjalah, maka proyek akan menunggumu.
Jangan menunggu dicintai baru mencintai, tapi belajarlah mencintai,maka kamu akan dicintai.
Jangan menunggu banyak uang baru hidup tenang, tapi hiduplah dengan tenang. Percayalah,. bukan sekadar uang yang datang tapi juga rejeki yang lainnya.
Jangan menunggu contoh baru bergerak mengikuti, tapi bergeraklah,maka kamu akan menjadi contoh yang diikuti.
Jangan menunggu sukses baru bersyukur. tapi bersyukurlah, maka bertambah kesuksesanmu.
Jangan menunggu bisa baru melakukan, tapi lakukanlah! Kamu pasti bisa!
broadcast yang melecehkan agama
Memasuki puasa bulan Ramadhan, banyak kita terima BBM plesetan hadist atau ayat Quran. Beberapa contohnya yg saya ingat ;
"Barang siapa yang sebelum berbuka masih berada di jalan, maka sungguh dia akan menghadapi kemacetan" (HR Rasuda Said)
"Barang siapa menjalani malam2 puasa dengan tidak tidur dan tidak mengerjakan amalan2 sholeh, itu adalah orang2 yang begadang tiada artinya" (HR Irama)
"Berpuasalah maka kamu akan lapar" (As-syarapan ayat 1)
Dan masih ada beberapa lagi yang lain yg tidak saya ingat.
Sebenarnya bukan barang yang baru plesetan seperti ini. Metode dan gaya bahasa dan modus operandi mlesetnya pun nyaris tak berubah dari plesetan jadul dulu spt ;
"Wahai orang2 yang beriman, yg nggak beriman nggak hai ! "
atau "Barang siapa yang burungnya berdiri sewaktu sholat, maka sholatnya tidak sah"
atau "Barang siapa yg terburu-buru mandi disaat sebelum subuh di bulan Ramadhan, maka sungguh dia termasuk orang yang habis begituan"
Hanya mungkin dulu penyebarannya agak terbatas karena hanya lewat milis atau sms yang terbatas karena perlu usaha dan biaya untuk meneruskannya. Tapi sekarang lewat (BBM) siapapun hanya dg beberapa kali pencat pencet akan dapat mengirimkannya ke semua yg ada di daftar kontak nya. Tanpa alat dan biaya tambahan apapun.
Pada dasarnya saya pribadi memang tidak suka menerima BBM karena sifatnya yang dangkal, tidak valid, sok penting, sotoy, hiperbolik dan sering berisi berita hoax yg tenntu saja tidak bisa dipertanggung jawabkan. Coba saja mulai dari bea siswa yg ternyata tdk bisa dihubungi sama sekali contact numbernya , info operasi katarak gratis yg waktu ditelpon malah kebingungan krn sama sekali tdk ada rencana kegiatan tsb di RS tsb, pengumuman dari RIM utk membroadcast ulang pesan RIM tsb utk membuktikan bahwa PIN kita valid, orang yg mati karena minum obat dengan air es sampai info kerusuhan di Slipi yg sama sekali tdk benar. Dengan mengesampingkan beberapa informasi valid dan penting yg tersebar dr BBM, kebanyakan perputaran data dan informasi dr BBM adalah perputaran informasi dan data sampah. Dengan demikian maka upaya copas dan mem BBM ulang adalah penyebarluasan sampah. Karena tidak suka menerima maka sayapun berusaha konsekwen dg tidak suka pula mengirim BBM.
Sebab lain yg membuat saya tidak meneruskan BBM seperti itu adalah karena memang -bagi saya- hal spt itu nggak lucu. Atau paling nggak, lucunya itu tidak genuine dan personal dari kita. Jadi saya tidak akan menurunkan maqam lucu saya sendiri dg berpartisipasi dalam rantai bbm itu.
Lalu sebagaimana jamaknya setiap hal, bbm plesetan tsb pasti ada yg menikmati dan ada yg tidak. Ada yg setuju dan ada pula yg tidak. Menjadi menarik kemudian ketika ketidak setujuan akan bbm itu di ekspresikan sebagai pelecehan agama,benarkah agama yang dilecehkan? atau mereka sedang melecehkan diri mereka sendiri sebagai pembuat -dan apa lagi- penyebar bbm semacam itu ?
"Barang siapa yang sebelum berbuka masih berada di jalan, maka sungguh dia akan menghadapi kemacetan" (HR Rasuda Said)
"Barang siapa menjalani malam2 puasa dengan tidak tidur dan tidak mengerjakan amalan2 sholeh, itu adalah orang2 yang begadang tiada artinya" (HR Irama)
"Berpuasalah maka kamu akan lapar" (As-syarapan ayat 1)
Dan masih ada beberapa lagi yang lain yg tidak saya ingat.
Sebenarnya bukan barang yang baru plesetan seperti ini. Metode dan gaya bahasa dan modus operandi mlesetnya pun nyaris tak berubah dari plesetan jadul dulu spt ;
"Wahai orang2 yang beriman, yg nggak beriman nggak hai ! "
atau "Barang siapa yang burungnya berdiri sewaktu sholat, maka sholatnya tidak sah"
atau "Barang siapa yg terburu-buru mandi disaat sebelum subuh di bulan Ramadhan, maka sungguh dia termasuk orang yang habis begituan"
Hanya mungkin dulu penyebarannya agak terbatas karena hanya lewat milis atau sms yang terbatas karena perlu usaha dan biaya untuk meneruskannya. Tapi sekarang lewat (BBM) siapapun hanya dg beberapa kali pencat pencet akan dapat mengirimkannya ke semua yg ada di daftar kontak nya. Tanpa alat dan biaya tambahan apapun.
Pada dasarnya saya pribadi memang tidak suka menerima BBM karena sifatnya yang dangkal, tidak valid, sok penting, sotoy, hiperbolik dan sering berisi berita hoax yg tenntu saja tidak bisa dipertanggung jawabkan. Coba saja mulai dari bea siswa yg ternyata tdk bisa dihubungi sama sekali contact numbernya , info operasi katarak gratis yg waktu ditelpon malah kebingungan krn sama sekali tdk ada rencana kegiatan tsb di RS tsb, pengumuman dari RIM utk membroadcast ulang pesan RIM tsb utk membuktikan bahwa PIN kita valid, orang yg mati karena minum obat dengan air es sampai info kerusuhan di Slipi yg sama sekali tdk benar. Dengan mengesampingkan beberapa informasi valid dan penting yg tersebar dr BBM, kebanyakan perputaran data dan informasi dr BBM adalah perputaran informasi dan data sampah. Dengan demikian maka upaya copas dan mem BBM ulang adalah penyebarluasan sampah. Karena tidak suka menerima maka sayapun berusaha konsekwen dg tidak suka pula mengirim BBM.
Sebab lain yg membuat saya tidak meneruskan BBM seperti itu adalah karena memang -bagi saya- hal spt itu nggak lucu. Atau paling nggak, lucunya itu tidak genuine dan personal dari kita. Jadi saya tidak akan menurunkan maqam lucu saya sendiri dg berpartisipasi dalam rantai bbm itu.
Lalu sebagaimana jamaknya setiap hal, bbm plesetan tsb pasti ada yg menikmati dan ada yg tidak. Ada yg setuju dan ada pula yg tidak. Menjadi menarik kemudian ketika ketidak setujuan akan bbm itu di ekspresikan sebagai pelecehan agama,benarkah agama yang dilecehkan? atau mereka sedang melecehkan diri mereka sendiri sebagai pembuat -dan apa lagi- penyebar bbm semacam itu ?
Senin, 03 Oktober 2011
Tuhan, maaf sepertinya.....
Tuhan, maafkan aku.
Yang begitu fasih dan rajin menjelaskan neraka kepada anakku.
Detail dengan segala tangan2 telanjang terikat belenggu besi berat dan timah panas cair dituangkan ke ubun2 yg pecah, rekah, utuh lagi dan dituang lagi. Tentang segala besi panas panjang membara yg ditusuk dari bagian sini *menunjuk salah satu bagian tubuh* sampai bagian sini *menunjuk bagian tubuh yg lain yg terjauh*.
Sementara mengenai Mu, tergagap aku menjelaskan bahwa Engkau adalah '(semacam) dzat maha tinggi yang ada semenjak (paling) awal dengan sendirinya dan sempurna tiada batas'
Lalu tak lupa selalu neraka kami pinjam dg mudah bbrp kali sehari untuk membuat mereka jeri melakukan ini itu yg tak kami suka.
Jauh lebih kerap daripada menjelaskan bahwa Kau hadir disini, situ, ini, itu di setiap ikhwal kejadian setiap hari yg kami jalani.
Pantaslah begini sekarang kami.
Anakku rasanya lebih takut kepada neraka daripada hormat kepada pencipta makhluk neraka itu.
Entah tentang iman yang hanya Kau peniliknya, tapi sepertinya kami -aku dan anak2ku- sampai entah kapan belumlah berani menyapaMu dengan cinta dan rindu.
Bagaimana akan rindu kepada mereka yg bahkan tak kau mengerti siapa ?
Tuhan, maafkan aku.
Yang begitu fasih dan rajin menjelaskan neraka kepada anakku.
Detail dengan segala tangan2 telanjang terikat belenggu besi berat dan timah panas cair dituangkan ke ubun2 yg pecah, rekah, utuh lagi dan dituang lagi. Tentang segala besi panas panjang membara yg ditusuk dari bagian sini *menunjuk salah satu bagian tubuh* sampai bagian sini *menunjuk bagian tubuh yg lain yg terjauh*.
Sementara mengenai Mu, tergagap aku menjelaskan bahwa Engkau adalah '(semacam) dzat maha tinggi yang ada semenjak (paling) awal dengan sendirinya dan sempurna tiada batas'
Lalu tak lupa selalu neraka kami pinjam dg mudah bbrp kali sehari untuk membuat mereka jeri melakukan ini itu yg tak kami suka.
Jauh lebih kerap daripada menjelaskan bahwa Kau hadir disini, situ, ini, itu di setiap ikhwal kejadian setiap hari yg kami jalani.
Pantaslah begini sekarang kami.
Anakku rasanya lebih takut kepada neraka daripada hormat kepada pencipta makhluk neraka itu.
Entah tentang iman yang hanya Kau peniliknya, tapi sepertinya kami -aku dan anak2ku- sampai entah kapan belumlah berani menyapaMu dengan cinta dan rindu.
Bagaimana akan rindu kepada mereka yg bahkan tak kau mengerti siapa ?
Tuhan, maafkan aku.
Jumat, 09 September 2011
Begitu Engkau Bersujud
Oleh : Emha Ainun Najib
Begitu engkau bersujud,
terbangunlah ruang yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud,
setiap kali pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan,
berapa ribu masjid telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya,
menara masjidmu meninggi, menembus langit,
memasuki alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah,
seketika bernama masjid,
begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada ridha Tuhan,
menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan ke piring ke-ilahi-an,
menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk cinta kasih ke-Tuhan-an,
lahir menjadi kumandang suara adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud,
engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang Allah,
engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang didengar Allah,
engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai Allah,
engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud,
pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud,
rumah tanggamu bersujud,
sepi dan ramaimu bersujud,
duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
1987
Begitu engkau bersujud,
terbangunlah ruang yang kau tempati itu menjadi sebuah masjid
Setiap kali engkau bersujud,
setiap kali pula telah engkau dirikan masjid
Wahai, betapa menakjubkan,
berapa ribu masjid telah kau bengun selama hidupmu?
Tak terbilang jumlahnya,
menara masjidmu meninggi, menembus langit,
memasuki alam makrifat
Setiap gedung, rumah, bilik atau tanah,
seketika bernama masjid,
begitu engkau tempati untuk bersujud
Setiap lembar rupiah yang kau sodorkan kepada ridha Tuhan,
menjelma jadi sajadah kemuliaan
Setiap butir beras yang kau tanak dan kau tuangkan ke piring ke-ilahi-an,
menjadi se-rakaat sembahyang
Dan setiap tetes air yang kau taburkan untuk cinta kasih ke-Tuhan-an,
lahir menjadi kumandang suara adzan
Kalau engkau bawa badanmu bersujud,
engkaulah masjid
Kalau engkau bawa matamu memandang yang dipandang Allah,
engkaulah kiblat
Kalau engkau pandang telingamu mendengar yang didengar Allah,
engkaulah tilawah suci
Dan kalau derakkan hatimu mencintai yang dicintai Allah,
engkaulah ayatullah
Ilmu pengetahuan bersujud,
pekerjaanmu bersujud,
karirmu bersujud,
rumah tanggamu bersujud,
sepi dan ramaimu bersujud,
duka deritamu bersujud
menjadilah engkau masjid
1987
Selasa, 19 Juli 2011
istriku sebentar lagi bulan puasa..
Istriku, sebentar lagi bulan puasa tiba menjelang.
Dibulan puasa itu kita diperintahkan untuk berpuasa.
Berpuasa itu artinya berpuasa.
Jadi berbelanja dan memasaklah seperti bulan biasa, sukur2 malah bisa berkurang karena kita kan sedang berpuasa.
-walau tentu saja mohon keikhlasan mu untuk menukar jam memasak menjadi agak berbeda dengan biasanya-
Disaat sahur, asal kita lakukan bersama, insya Allah hidangan apa saja akan hangat.
Disaat berbuka apa lagi, apa saja tentu akan menjadi lebih nikmat, apa saja menjadi berkah.
Berbuka dengan yang manis ? Engkau masih ada menyimpan foto ku kan ? Bila dijalan aku juga bisa meminum seteguk air sambil berkaca di spion... ;P
Dimulai dari diri kita, semoga bulan puasa dan kelak di hari raya, bukanlah menjadi saat konsumsi justru jadi tambah meningkat, pengeluaran jadi tambah berlipat.
Semoga kita termasuk orang yang berpuasa.
Dibulan puasa itu kita diperintahkan untuk berpuasa.
Berpuasa itu artinya berpuasa.
Jadi berbelanja dan memasaklah seperti bulan biasa, sukur2 malah bisa berkurang karena kita kan sedang berpuasa.
-walau tentu saja mohon keikhlasan mu untuk menukar jam memasak menjadi agak berbeda dengan biasanya-
Disaat sahur, asal kita lakukan bersama, insya Allah hidangan apa saja akan hangat.
Disaat berbuka apa lagi, apa saja tentu akan menjadi lebih nikmat, apa saja menjadi berkah.
Berbuka dengan yang manis ? Engkau masih ada menyimpan foto ku kan ? Bila dijalan aku juga bisa meminum seteguk air sambil berkaca di spion... ;P
Dimulai dari diri kita, semoga bulan puasa dan kelak di hari raya, bukanlah menjadi saat konsumsi justru jadi tambah meningkat, pengeluaran jadi tambah berlipat.
Semoga kita termasuk orang yang berpuasa.
Senin, 18 Juli 2011
Gusti Allah tidak nDeso
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
“Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu:
pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang,
atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi.
“Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.
Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa.
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya : kasih
sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang. Agama adalah akhlak.
Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian,
ikut misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan social pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi.
Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan beruntun.
“Cak Nun,” kata sang penanya, “misalnya pada waktu bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan, yang harus dipilih salah satu:
pergi ke masjid untuk shalat Jumat, mengantar pacar berenang,
atau mengantar tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari, mana yang sampeyan pilih?”
Cak Nun menjawab lantang, “Ya nolong orang kecelakaan.”
“Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?” kejar si penanya.
“Ah, mosok Allah ndeso gitu,” jawab Cak Nun.
“Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau masuk surga tidak ngajak-ngajak, ” katanya lagi.
“Dan lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang memperlakukan sembahyang sebagai credit point pribadi.
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga harus ditolong,
Tuhan tidak berada di mesjid, melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu.
Tuhan mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah yang sakit itu. Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang kesepian itu. Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, “Kira-kira Tuhan suka yang mana dari tiga orang ini.
Pertama, orang yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat permusuhan.
Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang?”
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga. Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun neraka, bukan membangun masjid.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak sembahyang, tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal, tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang yang sesungguhnya sembahyang dan membaca Al-Quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa.
Tolok ukur kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya : kasih
sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih, kemesraan dengan orang lain, memberi, membantu sesama.
Idealnya, orang beragama itu seharusnya memang mesti shalat, ikut misa, atau ikut kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki perilaku yang santun dan berkasih sayang. Agama adalah akhlak.
Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, pergi ke kebaktian,
ikut misa, datang ke pura, menurut saya, kita belum layak disebut orang yang beragama. Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan sosialnya. Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang beragama adalah orang yang bisa menggembirakan tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang lain, meski beda agama. Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan social pada kaum mustadh’afin (kaum tertindas). Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap dan jiwa sosial tinggi.
Bukan orang-orang yang meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan. ~
Jumat, 01 Juli 2011
10 tahun mengajarkan kami beberapa hal
Tanggal 29 Juni kemarin, genab 10 tahun usia pernikahan kami. Ada beberapa hal penting -dan tak penting- yg sejauh ini kami tandai selama 10 tahun tersebut.
10 tahun mengajarkan bahwa ternyata deg-degan, ser-seran, itu hanya salah satu bagian dari cinta. Hal-hal tersebut bukanlah bagian terpenting dari cinta, sehingga pastilah juga bukan hal penting dalam perkawinan.
Hal yg lebih penting dari segala getar dan sensasi itu adalah penghargaan yang menghormati kemandirian dan memuliakan kebersamaan.
Gampangnya, karena istriku itu mau jadi istriku dan selalu berusaha untuk bertindak sebagai istriku, maka aku merasa dimuliakan. Gantinya aku ingin sekali memuliakan istriku. Jadi tiap hari kami terus ingin saling memuliakan.
Selama 10 tahun kami mencatat, bahwa ternyata perkawinan itu tidak melulu serius dan berisikan hal2 hebat luar biasa. Perkawinan ternyata juga mengenai hal tertawa terbahak-bahak atas hal2 yg tak lucu. Bertengkar seru untuk hal2 yg remeh dan sepele. Cemburu terhadap hal konyol, salah paham dan malu2 mengakuinya. Perkawinan ternyata juga berisi berdoa bersama untuk segala kebaikan, kesehatan dan bebarengan berharap akan rejeki nomplok [tiba2 dapat undian bank misalnya ;) ]
Kami sadar setelah 10 tahun bahwa cinta kami ada dilangit, tapi kaki kami haruslah selalu menjejak bumi. Tiap hari kami berbagi untuk menopang hari. Bersama memikul hal berat, berbagi menjinjing yg ringan.
Kami bersepakat bahwa sedih itu asumsi, gembira itu keputusan, Gembira ternyata bisa diupayakan. Derita ternyata bisa diabaikan. Ya, ini hanya soal kesepakatan
Kami memutuskan bahwa dunia seisinya ini sebetulnya selalu sedang baik-baik saja. Hampir setengah dari kekeruhan itu cuma ada di kepala. Jadi kami usahakan selalu setiap ada waktu untuk memeriksa lagi isi kepala kami :) Tentu hidup bukan tanpa tekanan, tapi dengan kepala yang terang setiap tekanan bisa diajak berteman
10 tahun juga mengajarkan kami bahwa hakikat cinta bukanlah meminta, bukan menerima. Ternyata eh ternyata, cinta lebih mirip keinginan yg meluap-luap untuk memberi, yg lalu entah bagaimana secara ajaib akan berimbal kebahagiaan yg meluap-luap pula bagi sang pemberi. Demikian terus, makin besar pemberian, makin besar pula ganjaran bahagia.
Cinta adalah semacam lahan merdeka yg harus tetap dijalankan tanpa perlu menunggu balasan. Kami sepakat mengenai itu.
10 tahun mengajarkan kepada kami, tentang menginginkan apa2 yg telah dipunyai sebelum berharap ttg apa2 yang belum dipunyai. Menginginkan anak sebaik dan sehebat anak kami saat ini. Menginginkan kesehatan dan waktu luang seperti yg kami punya saat ini. Menginginkan keluarga dan sahabat, persis seperti yg kami punya saat ini.
Terima kasih Tuhan atas anugerah ini. Terima kasih atas 10 tahun kami.
Perkenankan doa kami, bukan doa tentang mencintai sampai akhir, tapi sekedar doa tentang saling mencintai di hari ini, yang selalu berulang di setiap hari.
10 tahun mengajarkan bahwa ternyata deg-degan, ser-seran, itu hanya salah satu bagian dari cinta. Hal-hal tersebut bukanlah bagian terpenting dari cinta, sehingga pastilah juga bukan hal penting dalam perkawinan.
Hal yg lebih penting dari segala getar dan sensasi itu adalah penghargaan yang menghormati kemandirian dan memuliakan kebersamaan.
Gampangnya, karena istriku itu mau jadi istriku dan selalu berusaha untuk bertindak sebagai istriku, maka aku merasa dimuliakan. Gantinya aku ingin sekali memuliakan istriku. Jadi tiap hari kami terus ingin saling memuliakan.
Selama 10 tahun kami mencatat, bahwa ternyata perkawinan itu tidak melulu serius dan berisikan hal2 hebat luar biasa. Perkawinan ternyata juga mengenai hal tertawa terbahak-bahak atas hal2 yg tak lucu. Bertengkar seru untuk hal2 yg remeh dan sepele. Cemburu terhadap hal konyol, salah paham dan malu2 mengakuinya. Perkawinan ternyata juga berisi berdoa bersama untuk segala kebaikan, kesehatan dan bebarengan berharap akan rejeki nomplok [tiba2 dapat undian bank misalnya ;) ]
Kami sadar setelah 10 tahun bahwa cinta kami ada dilangit, tapi kaki kami haruslah selalu menjejak bumi. Tiap hari kami berbagi untuk menopang hari. Bersama memikul hal berat, berbagi menjinjing yg ringan.
Kami bersepakat bahwa sedih itu asumsi, gembira itu keputusan, Gembira ternyata bisa diupayakan. Derita ternyata bisa diabaikan. Ya, ini hanya soal kesepakatan
Kami memutuskan bahwa dunia seisinya ini sebetulnya selalu sedang baik-baik saja. Hampir setengah dari kekeruhan itu cuma ada di kepala. Jadi kami usahakan selalu setiap ada waktu untuk memeriksa lagi isi kepala kami :) Tentu hidup bukan tanpa tekanan, tapi dengan kepala yang terang setiap tekanan bisa diajak berteman
10 tahun juga mengajarkan kami bahwa hakikat cinta bukanlah meminta, bukan menerima. Ternyata eh ternyata, cinta lebih mirip keinginan yg meluap-luap untuk memberi, yg lalu entah bagaimana secara ajaib akan berimbal kebahagiaan yg meluap-luap pula bagi sang pemberi. Demikian terus, makin besar pemberian, makin besar pula ganjaran bahagia.
Cinta adalah semacam lahan merdeka yg harus tetap dijalankan tanpa perlu menunggu balasan. Kami sepakat mengenai itu.
10 tahun mengajarkan kepada kami, tentang menginginkan apa2 yg telah dipunyai sebelum berharap ttg apa2 yang belum dipunyai. Menginginkan anak sebaik dan sehebat anak kami saat ini. Menginginkan kesehatan dan waktu luang seperti yg kami punya saat ini. Menginginkan keluarga dan sahabat, persis seperti yg kami punya saat ini.
Terima kasih Tuhan atas anugerah ini. Terima kasih atas 10 tahun kami.
Perkenankan doa kami, bukan doa tentang mencintai sampai akhir, tapi sekedar doa tentang saling mencintai di hari ini, yang selalu berulang di setiap hari.
Jumat, 24 Juni 2011
Nabi berkata 'kiri bang...'
Kalau saja dulu kanjeng Nabi pernah naik angkot di Jakarta, lalu beliau berujar "kiri bang..." itu berarti beliau ingin berhenti ditempat tersebut.
Jadi untuk memahaminya mustilah dipahami bahwa Nabi sedang naik angkot, dipahami bahwa ada tujuan tertentu beliau untuk berhenti ditempat itu, dan dipahami bahwa kiri itu artinya berhenti.
Bukannya ingin jalan dikiri.
Bukanlah lalu disunahkan agar tiap sopir mengambil jalur kiri,
bukanlah diartikan kiri lebih baik dari kanan, apalagi dipahami bahwa supir yang mengambil jalur kanan adalah supir yang sesat.
Terlalu ceroboh dan dangkal pasti contoh diatas, tapi disaat 10 menit tersisa sebelum masuk meeting pagi ini, contoh ekstrim tsb diatas mungkin dapat menggambarkan dengan singkat dan cepat, tentang hubungan antara segala kondisi, budaya dan perilaku serta tujuan Nabi saat itu dengan sunah (perkataan, tindakan, pilihan dan bahkan diam serta pembiaran) Nabi.
Sehingga jarak dan perkembangan sekian abad dari jaman beliau sampai saat ini, dengan segala perkembangan dan perubahannya, menurut saya mustilah disikapi dengan menyediakan ruang pemikiran, aktualisasi dan penyesuaian bagi setiap sunah nabi yang -bersama-sama- ingin kita hidup-hidupkan dan lestarikan tersebut.
Tujuannya tentu saja agar sunah tersebut aplikatif, dapat diterima dan berguna. Sunah tersebut up to date. Sunah tersebut cool. Mengambil inti hakikatnya, dan menyesuaikan cara dan kaidahnya.
Tidak mudah, riskan dan perlu keberanian, kebijakan, telaah dan ilmu pengetahuan memang.
Perlu telaah dan pengetahuan bukan hanya tentang masa Nabi saja tapi juga pengetahuan masa kini dan hal-hal kekinian.
Tak segampang telak2 misalnya memendekkan ujung celana, memanjangkan jenggot dan bersiwak setiap sebelum sholat -dan berbonus poligamii maksimal 4 sebagai sunah fave- .
Bagi saya usaha simplifikasi sunah -hanya dengan hal2 kecil kasat mata- dan telak2 mengambil setiap tindakan nabi tanpa mengaitkan dengan konteks kondisi dan tujuannya tersebut lebih bersumber pada kemalasan berpikir, keengganan mengambil resiko, kebutaan tentang masa kini dan sikap takluk dan apatis -semacam dendam samar2 tentang "Biar dunia bukan milik kita, tapi lihatlah kelak siapa yang berjaya di akhirat"- daripada ketaatan dan keinginan kuat untuk menegakkan sunah dan menjadikannya trend yg dapat mudah dan keren untuk diterapkan di jaman ini.
Itu kalo menurut saya.......
lanjut...
Jadi untuk memahaminya mustilah dipahami bahwa Nabi sedang naik angkot, dipahami bahwa ada tujuan tertentu beliau untuk berhenti ditempat itu, dan dipahami bahwa kiri itu artinya berhenti.
Bukannya ingin jalan dikiri.
Bukanlah lalu disunahkan agar tiap sopir mengambil jalur kiri,
bukanlah diartikan kiri lebih baik dari kanan, apalagi dipahami bahwa supir yang mengambil jalur kanan adalah supir yang sesat.
Terlalu ceroboh dan dangkal pasti contoh diatas, tapi disaat 10 menit tersisa sebelum masuk meeting pagi ini, contoh ekstrim tsb diatas mungkin dapat menggambarkan dengan singkat dan cepat, tentang hubungan antara segala kondisi, budaya dan perilaku serta tujuan Nabi saat itu dengan sunah (perkataan, tindakan, pilihan dan bahkan diam serta pembiaran) Nabi.
Sehingga jarak dan perkembangan sekian abad dari jaman beliau sampai saat ini, dengan segala perkembangan dan perubahannya, menurut saya mustilah disikapi dengan menyediakan ruang pemikiran, aktualisasi dan penyesuaian bagi setiap sunah nabi yang -bersama-sama- ingin kita hidup-hidupkan dan lestarikan tersebut.
Tujuannya tentu saja agar sunah tersebut aplikatif, dapat diterima dan berguna. Sunah tersebut up to date. Sunah tersebut cool. Mengambil inti hakikatnya, dan menyesuaikan cara dan kaidahnya.
Tidak mudah, riskan dan perlu keberanian, kebijakan, telaah dan ilmu pengetahuan memang.
Perlu telaah dan pengetahuan bukan hanya tentang masa Nabi saja tapi juga pengetahuan masa kini dan hal-hal kekinian.
Tak segampang telak2 misalnya memendekkan ujung celana, memanjangkan jenggot dan bersiwak setiap sebelum sholat -dan berbonus poligamii maksimal 4 sebagai sunah fave- .
Bagi saya usaha simplifikasi sunah -hanya dengan hal2 kecil kasat mata- dan telak2 mengambil setiap tindakan nabi tanpa mengaitkan dengan konteks kondisi dan tujuannya tersebut lebih bersumber pada kemalasan berpikir, keengganan mengambil resiko, kebutaan tentang masa kini dan sikap takluk dan apatis -semacam dendam samar2 tentang "Biar dunia bukan milik kita, tapi lihatlah kelak siapa yang berjaya di akhirat"- daripada ketaatan dan keinginan kuat untuk menegakkan sunah dan menjadikannya trend yg dapat mudah dan keren untuk diterapkan di jaman ini.
Itu kalo menurut saya.......
lanjut...
Selasa, 07 Juni 2011
Istriku sariawan
Istriku sariawan.
Entah kapan mulainya, tapi dua hari belakangan ini makin parah kondisinya. Tak henti2nya dia ngeses dan berdesis-desis. Kukira disamping siksaan perih dibibirnya, hal lain yang lebih menyiksa kukira adalah keterbatasannya untuk mengomelkan cintanya kepadaku dan Rumi dalam dua hari tersebut.
Jika untuk berbicara dan menelan ludah saja sakit, apatah lagi untuk mengunyah makanan. Apalagi makanan favoritnya yang panas dan pedas. Karena bagi istriku, makan itu adalah syariat sementara pedas itu adalah hakikat. Apa jadinya makan tanpa pedas dan panas ?
Jadi walaupun dia sedang menderita, tapi penderitaannya itu seolah coba dikurangi dengan kebahagiaan akan makanan pedas dan panas. Sebab jika tidak, akan makin beratlah deritanya.
Tapi pengertian syariat dan hakikat makanan panas pedas itu pasti membawa konsekwensi. Setiap suap makanan akan mengakibatkan matanya berair dan sesaat setelah setiap suapan, mulutnya akan tertahan sebentar dari mengunyah dan berteriak tertahan menyebut nama Tuhan... saking sakitnya.
Nama Tuhan itu diteriakkan saya kira bukanlah dengan tendensi spiritual orang saleh, melainkan reflek akan rasa sakit dan kesadaran betapa dalam kondisi seperti itu saya suaminya, Rumi anaknya dan semua tetangga secluster benar2 tidak berdaya untuk menolong. Sakit itu adalah sakit dia sendiri dan tak mungkin dibagikan kepada orang2 yang dicintainya.
Tapi jika Tuhan bisa didekati dengan cara seperti itu, apa salahnya menurut saya ? Ternyata lagi2 -seperti dalam banyak hal- dalam soal sariawan pun hanya Tuhan yang bisa jadi sandaran. Saya bersyukur istriku itu sariawan, karena dengan demikian makin sering dengan lantang dia menyebutkan nama Tuhan. Dan saya curiga keengganannya untuk diobati obat cina seperti saranku adalah tarikat yang dia pilih untuk makin dekat dengan Tuhannya.
Tarikat baru yg menarik kukira.. ;)
Entah kapan mulainya, tapi dua hari belakangan ini makin parah kondisinya. Tak henti2nya dia ngeses dan berdesis-desis. Kukira disamping siksaan perih dibibirnya, hal lain yang lebih menyiksa kukira adalah keterbatasannya untuk mengomelkan cintanya kepadaku dan Rumi dalam dua hari tersebut.
Jika untuk berbicara dan menelan ludah saja sakit, apatah lagi untuk mengunyah makanan. Apalagi makanan favoritnya yang panas dan pedas. Karena bagi istriku, makan itu adalah syariat sementara pedas itu adalah hakikat. Apa jadinya makan tanpa pedas dan panas ?
Jadi walaupun dia sedang menderita, tapi penderitaannya itu seolah coba dikurangi dengan kebahagiaan akan makanan pedas dan panas. Sebab jika tidak, akan makin beratlah deritanya.
Tapi pengertian syariat dan hakikat makanan panas pedas itu pasti membawa konsekwensi. Setiap suap makanan akan mengakibatkan matanya berair dan sesaat setelah setiap suapan, mulutnya akan tertahan sebentar dari mengunyah dan berteriak tertahan menyebut nama Tuhan... saking sakitnya.
Nama Tuhan itu diteriakkan saya kira bukanlah dengan tendensi spiritual orang saleh, melainkan reflek akan rasa sakit dan kesadaran betapa dalam kondisi seperti itu saya suaminya, Rumi anaknya dan semua tetangga secluster benar2 tidak berdaya untuk menolong. Sakit itu adalah sakit dia sendiri dan tak mungkin dibagikan kepada orang2 yang dicintainya.
Tapi jika Tuhan bisa didekati dengan cara seperti itu, apa salahnya menurut saya ? Ternyata lagi2 -seperti dalam banyak hal- dalam soal sariawan pun hanya Tuhan yang bisa jadi sandaran. Saya bersyukur istriku itu sariawan, karena dengan demikian makin sering dengan lantang dia menyebutkan nama Tuhan. Dan saya curiga keengganannya untuk diobati obat cina seperti saranku adalah tarikat yang dia pilih untuk makin dekat dengan Tuhannya.
Tarikat baru yg menarik kukira.. ;)
Rabu, 18 Mei 2011
Pak Madura itu
suatu sore, seorang country manager terheran melihat seorang penjual kopi keliling yang sedari dia masuk masjid untuk sembahyang Ashar sampai dia selesai, masih saja santai sambil setengah rebahan dan bercanda dg anak kucing kecil serta menghisap gudang garam merah di pelataran masjid.
" Santai pak..?"
" iya dek...."
" itu di depan parkiran banyak taksi mangkal pak.. kenapa nggak ke sana pak ? laris lho..."
" beh, ada appa...? sudah cokop saya jualan hari ini "
" cukup gimana pak... jual lagi... masih sore ini.. itu banyak supir mangkal, kurir ngaso, angkot ngetem, banyak itu yang perlu kopi dan mau beli rokok ketengan dari sampean... jual banyak-banyak pak.... dapat hasil banyak...."
" buat appa saya jual nyak-banyak... hasil nyak-banyak...."
" biar maju pak eeee.... biar sepedah ontelnya ini nanti bisa ganti motor, biar jualnya bisa modal sendiri gak utang ke juragan sampean, biar termos air ini nanti bisa ganti pake dispenser...... Siapa tau nanti tambah gede tambah gede....bisa ganti pake mobil pikep jualannya sampean.... ada makanan kecilnya juga...... sampean harus mengumpulkan aset... eh aset itu harta, modal, biar modal sampean tambah banyak.... omzet eh, dapetnya sehari tambah banyak... Jadi kan otomatis untungnya juga jadi tambah banyak....... terus maju dan maju.... sampean nanti punya mobil pikep yang kedua, ketiga dan berikutnya... punya anak buah...Sampean harus kerja keras pak... sambil berhemat... "
" Lha terus, kalok sudah begitu mau appa saya ? "
" Aaaarrrggghhhh......!!! Ya lalu sampean jadi financial freedom... ah, pokoknya sampean jadi kecukupan lah.... Gak kekurangan lagi.....Bisa bebas dari utang, punya uang cukup, berkecukupan...... Nah.. Terus disaat itu, sampean baru bisa benar-benar menikmati hidup...."
" Jadi agar saya bisa menikmati hidup nanti ya dek ? "
" iya pak... menikmati hidup dengan tenang....."
" lha sampian peker saya sedang ngapain ini.... ? dari tadi ini ? sampek tadi tiba2 sampian lalu nyuruh-nyuruh saya tadi...saya sedang nikmatin hidup inni..... nikmati hidup dengan tenang....... sekarang ini... gak usah nunggu2 dan panjang2 seperti ikut omongannya sampian tadi.... mak neser sampian mau nikmatin hidup saja nyuruh saya cek panjangnya jalannya dik... "
" eh, saya tanyak ini ya, sampian milih manna sampian sebenernya ? harta banyak appa kepinteran menikmati hidup..? "
Si country hanya ndlongop dan tiba2 merasa bodoooooo mbanget.
9 Mei 2011 bakda Ashar.
Masjid Hidayatullah, Sudirman Jakarta.
PS. Ternyata nabi Khidir itu bisa juga nyamar jadi orang Madura takiyeh.....
*seperti yang di tausiahkan oleh Ustadz de Mello*
" Santai pak..?"
" iya dek...."
" itu di depan parkiran banyak taksi mangkal pak.. kenapa nggak ke sana pak ? laris lho..."
" beh, ada appa...? sudah cokop saya jualan hari ini "
" cukup gimana pak... jual lagi... masih sore ini.. itu banyak supir mangkal, kurir ngaso, angkot ngetem, banyak itu yang perlu kopi dan mau beli rokok ketengan dari sampean... jual banyak-banyak pak.... dapat hasil banyak...."
" buat appa saya jual nyak-banyak... hasil nyak-banyak...."
" biar maju pak eeee.... biar sepedah ontelnya ini nanti bisa ganti motor, biar jualnya bisa modal sendiri gak utang ke juragan sampean, biar termos air ini nanti bisa ganti pake dispenser...... Siapa tau nanti tambah gede tambah gede....bisa ganti pake mobil pikep jualannya sampean.... ada makanan kecilnya juga...... sampean harus mengumpulkan aset... eh aset itu harta, modal, biar modal sampean tambah banyak.... omzet eh, dapetnya sehari tambah banyak... Jadi kan otomatis untungnya juga jadi tambah banyak....... terus maju dan maju.... sampean nanti punya mobil pikep yang kedua, ketiga dan berikutnya... punya anak buah...Sampean harus kerja keras pak... sambil berhemat... "
" Lha terus, kalok sudah begitu mau appa saya ? "
" Aaaarrrggghhhh......!!! Ya lalu sampean jadi financial freedom... ah, pokoknya sampean jadi kecukupan lah.... Gak kekurangan lagi.....Bisa bebas dari utang, punya uang cukup, berkecukupan...... Nah.. Terus disaat itu, sampean baru bisa benar-benar menikmati hidup...."
" Jadi agar saya bisa menikmati hidup nanti ya dek ? "
" iya pak... menikmati hidup dengan tenang....."
" lha sampian peker saya sedang ngapain ini.... ? dari tadi ini ? sampek tadi tiba2 sampian lalu nyuruh-nyuruh saya tadi...saya sedang nikmatin hidup inni..... nikmati hidup dengan tenang....... sekarang ini... gak usah nunggu2 dan panjang2 seperti ikut omongannya sampian tadi.... mak neser sampian mau nikmatin hidup saja nyuruh saya cek panjangnya jalannya dik... "
" eh, saya tanyak ini ya, sampian milih manna sampian sebenernya ? harta banyak appa kepinteran menikmati hidup..? "
Si country hanya ndlongop dan tiba2 merasa bodoooooo mbanget.
9 Mei 2011 bakda Ashar.
Masjid Hidayatullah, Sudirman Jakarta.
PS. Ternyata nabi Khidir itu bisa juga nyamar jadi orang Madura takiyeh.....
*seperti yang di tausiahkan oleh Ustadz de Mello*
Tentang jidat Rumi
Malam ini karena si ibuk gak ada (sudah 2 hari on tour of duty) maka kami (aku, Rumi dan Risa) memutuskan untuk makan malam diluar. Setelah makan, mungkin karena gabungan antara kekenyangan, kecapekan dan kemaleman maka di perjalanan pulang, Rumi sudah tertidur dg sangat lelapnya.
Demikian lelapnya sampai sewaktu sudah sampai rumah dan berhasil memindahkannya ke kamar, aku gak tega utk menyuruhnya mengerjakan rutinitas sebelum tidur. Kubiarkan saja ia pergi tidur tanpa ganti baju, tanpa gosok gigi, tanpa sholat isya.
Tak lama kemudian, saat sdg berberes dan mengunci pintu2 dan jendela, tiba kudengar pintu kamar terbuka. Rumi keluar dengan terhuyung2 krn mengantuk dan dg mata masih setengah terpejam "Yah, aku belum Isya'... " katanya.
Lalu belum sempat aku jawab, entah krn sempoyongannya atau karena setengah meremnya, pas masuk kamar mandi Rumi kurang presisi. Kepalanya kejedot kusen pintu...!
Dan -bodohnya- karena melihat mulai dr keluar kamar, Rumi sdh sempoyongan dan akhirnya kejedot pintu pula, aku tertawa..... :(
Tidak terbahak, hanya tertawa pendek rasanya, tapi itu sudah cukup utk membuat Rumi marah. Mungkin gabungan atas ngantuk beratnya, kaget dan sakit kejedot pintu dan jengkel karena aku tertawa atas 'penderitaan'nya maka Rumi marah berat.
-Padahal satu hal yg selalu kuingatkan agar tdk pernah dilakukan Rumi adalah agar jangan pernah tertawa atas kesialan orang lain. Tapi aku melakukannya malam ini justru kepada Rumi. What a 'clever'...-
Lalu suasana pun memburuk. Rumi yg marah dan capek, aku yg menyesal tapi juga kaget atas reaksi dan kata2 Rumi saat marah, adalah gabungan dua hal yg cukup utk membuat suasana malam menjelang tidur menjadi sangat tidak baik.
Ah, sudahlah tak usah kuceritakan lebih detil bagaimana suasananya. Cukuplah dibayangkan bahwa adegan tadi akan membuat si Mischa itu jd kelihatan cemen akting marahnya.
Akhirnya aku turun ke bawah dan Rumi menyelesaikan Isya' nya masih dg marah2 dan beleleran air mata.
Saat ini wahai kawan, aku baru saja naik lagi ke kamar Rumi. Menyesal sekali tadi aku telah berbuat 'kebodohan' terhadap Rumi dan menyakiti hatinya dengan amat sangat. Memberinya contoh yg buruk. Menunjukkan betapa sebagai ayah, aku cuma bisa sok pinter tapi tak becus memberi tauladan.
Dan kau tahu apa yg membuatku saat ini beleleran jg spt mata Rumi waktu marah tadi ? Ternyata jidat Rumi benjol. Memar bengkak. Tidak parah memang dan aku yakin besok pagi akan segera hilang. Tapi bengkak memar jidat Rumi membuat perasaanku jadi teraduk-aduk.
Ya Allah, betapa banyak yg harus aku tiru dari anakku ini. Disaat sangat lelah penat, sempoyongan dan dg mata setengah terpejam, dia masih berusaha menguatkan niat dan berusaha keras menyeret badannya untuk bangun dan menjalankan kewajibannya dg segenap hati. Begitu penting bagi dia menunaikan kewajibannya thd Tuhannya.
Ini tamparan kedua untuk ku malam ini, betapa tak seteguh dan segenap hati aku, bahkan bila dibandingkan hanya dg Rumi, dalam menggenapi kewajibanku kepadaMu ya Allah.
Ayah yakin nak, kelak.. Kelak nanti... Disaat semua mulut terkunci tak lagi kuasa bicara. Maka jidatmu akan bersaksi, bahwa dia dulu pernah memar bengkak karena bersama hati dan tubuhmu berusaha menunaikan ketaatanmu pada Tuhanmu.
Terima kasih telah menjadi anak baik le...
Kamu hebat, paling tidak menurut ayah....
Demikian lelapnya sampai sewaktu sudah sampai rumah dan berhasil memindahkannya ke kamar, aku gak tega utk menyuruhnya mengerjakan rutinitas sebelum tidur. Kubiarkan saja ia pergi tidur tanpa ganti baju, tanpa gosok gigi, tanpa sholat isya.
Tak lama kemudian, saat sdg berberes dan mengunci pintu2 dan jendela, tiba kudengar pintu kamar terbuka. Rumi keluar dengan terhuyung2 krn mengantuk dan dg mata masih setengah terpejam "Yah, aku belum Isya'... " katanya.
Lalu belum sempat aku jawab, entah krn sempoyongannya atau karena setengah meremnya, pas masuk kamar mandi Rumi kurang presisi. Kepalanya kejedot kusen pintu...!
Dan -bodohnya- karena melihat mulai dr keluar kamar, Rumi sdh sempoyongan dan akhirnya kejedot pintu pula, aku tertawa..... :(
Tidak terbahak, hanya tertawa pendek rasanya, tapi itu sudah cukup utk membuat Rumi marah. Mungkin gabungan atas ngantuk beratnya, kaget dan sakit kejedot pintu dan jengkel karena aku tertawa atas 'penderitaan'nya maka Rumi marah berat.
-Padahal satu hal yg selalu kuingatkan agar tdk pernah dilakukan Rumi adalah agar jangan pernah tertawa atas kesialan orang lain. Tapi aku melakukannya malam ini justru kepada Rumi. What a 'clever'...-
Lalu suasana pun memburuk. Rumi yg marah dan capek, aku yg menyesal tapi juga kaget atas reaksi dan kata2 Rumi saat marah, adalah gabungan dua hal yg cukup utk membuat suasana malam menjelang tidur menjadi sangat tidak baik.
Ah, sudahlah tak usah kuceritakan lebih detil bagaimana suasananya. Cukuplah dibayangkan bahwa adegan tadi akan membuat si Mischa itu jd kelihatan cemen akting marahnya.
Akhirnya aku turun ke bawah dan Rumi menyelesaikan Isya' nya masih dg marah2 dan beleleran air mata.
Saat ini wahai kawan, aku baru saja naik lagi ke kamar Rumi. Menyesal sekali tadi aku telah berbuat 'kebodohan' terhadap Rumi dan menyakiti hatinya dengan amat sangat. Memberinya contoh yg buruk. Menunjukkan betapa sebagai ayah, aku cuma bisa sok pinter tapi tak becus memberi tauladan.
Dan kau tahu apa yg membuatku saat ini beleleran jg spt mata Rumi waktu marah tadi ? Ternyata jidat Rumi benjol. Memar bengkak. Tidak parah memang dan aku yakin besok pagi akan segera hilang. Tapi bengkak memar jidat Rumi membuat perasaanku jadi teraduk-aduk.
Ya Allah, betapa banyak yg harus aku tiru dari anakku ini. Disaat sangat lelah penat, sempoyongan dan dg mata setengah terpejam, dia masih berusaha menguatkan niat dan berusaha keras menyeret badannya untuk bangun dan menjalankan kewajibannya dg segenap hati. Begitu penting bagi dia menunaikan kewajibannya thd Tuhannya.
Ini tamparan kedua untuk ku malam ini, betapa tak seteguh dan segenap hati aku, bahkan bila dibandingkan hanya dg Rumi, dalam menggenapi kewajibanku kepadaMu ya Allah.
Ayah yakin nak, kelak.. Kelak nanti... Disaat semua mulut terkunci tak lagi kuasa bicara. Maka jidatmu akan bersaksi, bahwa dia dulu pernah memar bengkak karena bersama hati dan tubuhmu berusaha menunaikan ketaatanmu pada Tuhanmu.
Terima kasih telah menjadi anak baik le...
Kamu hebat, paling tidak menurut ayah....
Berpanjang angan
Pagi ini 'in the peace of the morning' seorang rekan saya menyapa dengan komennya mengenai berpanjang angan.
Kebetulan dua hari ini saya memang sedang memikirkan tentang betapa tak terbatasnya angan dapat memanjang, lebar dan meluas.
Berita kematian Ratna Indraswari Ibrahim dua hari yang lalu membuat saya berpikir bahwa hanya kekuatan angan yang membuat beliau ditengah cacat fisik tubuh yang –dibanding dengan kondisi kebanyakan orang ‘normal’ lainnya- sedemikian parah, keterbatasan pandangan akibat glukoma dan begitu banyak handicap lainnya, dapat berkarya menghasilkan sekian ratus cerpen, novel dan juga menjadi fasilitator sekaligus aktivis bagi penyelamatan lingkungan dan budaya di kota Malang tempat tinggalnya.
Bagaimana mungkin seorang yang dilahirkan dalam keadaan cacat, tak pernah sekejap pun merasakan ‘nikmat hidup’ sebagai seorang normal, dapat menceritakan di cerpen2nya tentang betapa indahnya hidup, tentang bagaimana seharusnya orang berpikir dan bersikap baik terhadap hidupnya, tentang betapa indahnya hidup dan oleh karenanya selalu layak untuk dinikmati dengan berterima kasih terhadap kehidupan. Bercerita dengan lancar dan indah tentang elan kehidupan.
Satu hal yang saya ingat dari tulisannya adalah ‘orang yang tak berterima kasih terhadap sesama, terhadap alam, terhadap kehidupan, dia tidak berterima kasih terhadap Tuhan’
Kebetulan dua hari ini saya memang sedang memikirkan tentang betapa tak terbatasnya angan dapat memanjang, lebar dan meluas.
Berita kematian Ratna Indraswari Ibrahim dua hari yang lalu membuat saya berpikir bahwa hanya kekuatan angan yang membuat beliau ditengah cacat fisik tubuh yang –dibanding dengan kondisi kebanyakan orang ‘normal’ lainnya- sedemikian parah, keterbatasan pandangan akibat glukoma dan begitu banyak handicap lainnya, dapat berkarya menghasilkan sekian ratus cerpen, novel dan juga menjadi fasilitator sekaligus aktivis bagi penyelamatan lingkungan dan budaya di kota Malang tempat tinggalnya.
Bagaimana mungkin seorang yang dilahirkan dalam keadaan cacat, tak pernah sekejap pun merasakan ‘nikmat hidup’ sebagai seorang normal, dapat menceritakan di cerpen2nya tentang betapa indahnya hidup, tentang bagaimana seharusnya orang berpikir dan bersikap baik terhadap hidupnya, tentang betapa indahnya hidup dan oleh karenanya selalu layak untuk dinikmati dengan berterima kasih terhadap kehidupan. Bercerita dengan lancar dan indah tentang elan kehidupan.
Satu hal yang saya ingat dari tulisannya adalah ‘orang yang tak berterima kasih terhadap sesama, terhadap alam, terhadap kehidupan, dia tidak berterima kasih terhadap Tuhan’
Kamis, 24 Maret 2011
Bila
Berjuta orang gegap gempita men selamat i pagi. Dan pagi tetap tergesa sibuk bergegas pergi.
Setiap hari kita memakan siang. Dan siang bergeming, memastikan diri tak habis terbagi untuk semua.
Semua bergilir bersama men tidur i malam dengan mesra tanpa khawatir. Karena malam selalu di datang i bulan.
lalu coba kau katakan padaku, apa yang tersisa untuk bercemas ?
| dari lini masa, seperti yang diceritakan istriku semalam sebelum tidur
Setiap hari kita memakan siang. Dan siang bergeming, memastikan diri tak habis terbagi untuk semua.
Semua bergilir bersama men tidur i malam dengan mesra tanpa khawatir. Karena malam selalu di datang i bulan.
lalu coba kau katakan padaku, apa yang tersisa untuk bercemas ?
| dari lini masa, seperti yang diceritakan istriku semalam sebelum tidur
Tuhan, jangan Kau Firaun kan aku
Aku tahu bahwa dari paras saja dan dibagian mana baju ini terkoyak, tentu aku bukanlah Yusuf. Sangatlah jauh dari Yusuf.
Tapi sungguh aku juga merasa sangatlah berbakat untuk menjadi Firaun. Bertukar tempat dengan Firaun.
Jadi mohonku, jagalah aku dijalanku ini ya Rabbana..
Jalan yang memang kerap tak mampu mencontoh dari kebaikan Yusuf.
Tapi juga jalan usaha keras tak kenal lelah untuk belajar banyak dengan tidak mengikuti keburukan Firaun.
Rabbana amin
Tapi sungguh aku juga merasa sangatlah berbakat untuk menjadi Firaun. Bertukar tempat dengan Firaun.
Jadi mohonku, jagalah aku dijalanku ini ya Rabbana..
Jalan yang memang kerap tak mampu mencontoh dari kebaikan Yusuf.
Tapi juga jalan usaha keras tak kenal lelah untuk belajar banyak dengan tidak mengikuti keburukan Firaun.
Rabbana amin
Mobil dengan stiker "Follow Jesus"
Tulisan di milis PATIGAT, menanggapi kabar kisruh saling tuding di internal PKS.
------
Dengan analogi yang tidak terlalu tepat, mungkin adalah seperti Mobil dengan stiker "Follow Jesus" yang saya sua pagi ini.
Bagi saya, semestinya mobil adalah mobil, dengan segala mesin, body, ban dan segala asesorisnya, serta di kendalikan oleh supir untuk tujuan si supir.
Menjadi bias bila kemudian mobil itu ditempeli "Follow Jesus" dan kemudian masuk jalur bus way di depan Twin Plasa Slipi.
Pasti pelanggaran tersebut adalah karena kesalahan supir dan tidak ada hubungan sama sekali dengan Jesus dan segala ajarannya.
Saya sebagai mobil yang dibelakangnya dan setiap orang lain yang juga membaca stiker tersebut dan tahu kelakuan mobil tersebut seharusnya paham bahwa "Follow Jesus" dan kelakuan supir adalah dua hal yang jauh berbeda.
Mobil tersebut adalah mobil. Just mobil. Dan tidak akan merubah maknanya dengan atau tanpa stiker tersebut. Kalaupun di salib pun pasti adalah hanya karena lambat dan bukan karena alasan lain yang lebih mulia, penebusan dosa misalnya.
Anggapan yang sama juga semestinya berlaku untuk mobil lain dengan stiker sejenis. Stiker hijau tulisan arab putih "Ishadu bi anna mulimun" misalnya.
Dengan menarik ibroh yang terkandung dalam kejadian diatas maka (menurut saya) ;
------
Dengan analogi yang tidak terlalu tepat, mungkin adalah seperti Mobil dengan stiker "Follow Jesus" yang saya sua pagi ini.
Bagi saya, semestinya mobil adalah mobil, dengan segala mesin, body, ban dan segala asesorisnya, serta di kendalikan oleh supir untuk tujuan si supir.
Menjadi bias bila kemudian mobil itu ditempeli "Follow Jesus" dan kemudian masuk jalur bus way di depan Twin Plasa Slipi.
Pasti pelanggaran tersebut adalah karena kesalahan supir dan tidak ada hubungan sama sekali dengan Jesus dan segala ajarannya.
Saya sebagai mobil yang dibelakangnya dan setiap orang lain yang juga membaca stiker tersebut dan tahu kelakuan mobil tersebut seharusnya paham bahwa "Follow Jesus" dan kelakuan supir adalah dua hal yang jauh berbeda.
Mobil tersebut adalah mobil. Just mobil. Dan tidak akan merubah maknanya dengan atau tanpa stiker tersebut. Kalaupun di salib pun pasti adalah hanya karena lambat dan bukan karena alasan lain yang lebih mulia, penebusan dosa misalnya.
Anggapan yang sama juga semestinya berlaku untuk mobil lain dengan stiker sejenis. Stiker hijau tulisan arab putih "Ishadu bi anna mulimun" misalnya.
Dengan menarik ibroh yang terkandung dalam kejadian diatas maka (menurut saya) ;
Stay hungry, stay foolish
...CEO paling berpengaruh didunia pun 'pedoman'nya mengingat kematian...
*Pidato Steve Jobs di Acara Wisuda Stanford University*
____________________________________________________
Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus
dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai
kuliah. Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari ini
saya akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak perlu
banyak. Cukup tiga.
*Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik*
Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya
tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus
kuliah. Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung
saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena “kecelakaan” dan memberikan
saya kepada seseorang untuk diadopsi.
Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun
diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan
istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran bayi
perempuan karena ingin. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar
urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: “kami punya
bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka
menjawab:“Tentu saja.” Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat
saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA.
Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa
bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya
sampai perguruan tinggi.
Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya
memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga
seluruh tabungan orang tua saya- yang hanya pegawai rendahan-habis untuk
biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya *tidak melihat manfaatnya*. Saya
tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah
akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan
yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun *memutuskan
berhenti kuliah*, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan,
namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya
ambil.
*Pidato Steve Jobs di Acara Wisuda Stanford University*
____________________________________________________
Saya merasa bangga di tengah-tengah Anda sekarang, yang akan segera lulus
dari salah satu universitas terbaik di dunia. Saya tidak pernah selesai
kuliah. Sejujurnya, baru saat inilah saya merasakan suasana wisuda. Hari ini
saya akan menyampaikan tiga cerita pengalaman hidup saya. Ya, tidak perlu
banyak. Cukup tiga.
*Cerita Pertama: Menghubungkan Titik-Titik*
Saya drop out (DO) dari Reed College setelah semester pertama, namun saya
tetap berkutat di situ sampai 18 bulan kemudian, sebelum betul-betul putus
kuliah. Mengapa saya DO? Kisahnya dimulai sebelum saya lahir. Ibu kandung
saya adalah mahasiswi belia yang hamil karena “kecelakaan” dan memberikan
saya kepada seseorang untuk diadopsi.
Dia bertekad bahwa saya harus diadopsi oleh keluarga sarjana, maka saya pun
diperjanjikan untuk dipungut anak semenjak lahir oleh seorang pengacara dan
istrinya. Sialnya, begitu saya lahir, tiba-tiba mereka berubah pikiran bayi
perempuan karena ingin. Maka orang tua saya sekarang, yang ada di daftar
urut berikutnya, mendapatkan telepon larut malam dari seseorang: “kami punya
bayi laki-laki yang batal dipungut; apakah Anda berminat? Mereka
menjawab:“Tentu saja.” Ibu kandung saya lalu mengetahui bahwa ibu angkat
saya tidak pernah lulus kuliah dan ayah angkat saya bahkan tidak tamat SMA.
Dia menolak menandatangani perjanjian adopsi. Sikapnya baru melunak beberapa
bulan kemudian, setelah orang tua saya berjanji akan menyekolahkan saya
sampai perguruan tinggi.
Dan, 17 tahun kemudian saya betul-betul kuliah. Namun, dengan naifnya saya
memilih universitas yang hampir sama mahalnya dengan Stanford, sehingga
seluruh tabungan orang tua saya- yang hanya pegawai rendahan-habis untuk
biaya kuliah. Setelah enam bulan, saya *tidak melihat manfaatnya*. Saya
tidak tahu apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya dan bagaimana kuliah
akan membantu saya menemukannya. Saya sudah menghabiskan seluruh tabungan
yang dikumpulkan orang tua saya seumur hidup mereka. Maka, saya pun *memutuskan
berhenti kuliah*, yakin bahwa itu yang terbaik. Saat itu rasanya menakutkan,
namun sekarang saya menganggapnya sebagai keputusan terbaik yang pernah saya
ambil.
Langganan:
Postingan (Atom)